<p>Melati Mas Residence. / Cowelldev.com</p>
Industri

Cowell Terancam Pailit, Bagaimana Nasib Konsumennya?

  • JAKARTA-PT Cowell Development Tbk. (COWL) tengah menghadapi ancaman pailit. Akibat utang menumpuk dan bisnis yang memburuk, pemilik sejumlah proyek properti di Jakarta dan berbagai kota ini tak kuasa lagi membayar kewajibannya. Bursa Efek Indonesia (BEI) telah melakukan suspensi atau penghentian perdagangan saham perseroan sejak 13 Juli lalu. Alhasil investor saham berkode COWL ini tak bisa […]

Industri
wahyudatun nisa

wahyudatun nisa

Author

JAKARTA-PT Cowell Development Tbk. (COWL) tengah menghadapi ancaman pailit. Akibat utang menumpuk dan bisnis yang memburuk, pemilik sejumlah proyek properti di Jakarta dan berbagai kota ini tak kuasa lagi membayar kewajibannya.

Bursa Efek Indonesia (BEI) telah melakukan suspensi atau penghentian perdagangan saham perseroan sejak 13 Juli lalu. Alhasil investor saham berkode COWL ini tak bisa lagi bertransaksi, sehingga berpotensi merugi.

Tak hanya investor saham, potensi kerugian lebih besar justru bakal dialami konsumen yang membeli aset properti Cowell. Apalagi jika mereka belum mendapatkan properti yang dibeli.

“Jika sebuah perusahaan properti mengalami pailit, yang paling dirugikan adalah konsumen yang telah membayar uang muka tapi belum mendapatkan aset propertinya. Posisi mereka akan berubah menjadi kreditur dan ini menyulitkan,” jelas Praktisi Hukum Bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Yudho Taruno Muryanto, Kamis, 16 Juli 2020.

Saat ini Cowell memiliki sejumlah proyek properti seperti The Oasis di Cikarang, Borneo Paradiso di Balikpapan, proyek apartemen di Jakarta Selatan yaitu Lexington Residence, perumahan Laverde Serpong Park dengan total 3.700 unit rumah, dan Melati Mas Residence 1.200 unit rumah.

Lebih jauh Yudho mengatakan, terkait kepailitan yang terjadi pada perusahaan properti ada beberapa hal yang perlu dipahami, terutama menyangkut hak-hak konsumen. Menurutnya kepailitan merupakan keadaan dimana debitur tidak mampu membayar sedikitnya dua hutang atau lebih (kreditur) yang sudah sudah jatuh tempo dan bisa ditagih.

Jika debitur dinyatakan pailit maka debitur akan kehilangan hak perdatanya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan yang telah dimasukan dalam harta pailit (pasal 22 UU kepailitan).

“Artinya jika perusahaan sebagai pengembang dinyatakan pailit maka akan berlaku segala ketentuan dalam UU kepailitan,” ujarnya.

Praktisi Hukum Bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Yudho Taruno Muryanto. / Istimewa

Tipe Konsumen

Yudho menerangkan ada dua tipe konsumen dalam transaksi properti. Pertama, konsumen yang membeli dengan cara kredit melalui lembaga keuangan seperti perbankan dan sudah menempati aset propertinya tersebut.

Kedua, tipe konsumen yang membeli produk properti dengan sistem inden atau membayar uang muka. Biasanya ini belum dilakukan PPJB (perjanjian pengikatan jual beli) atau baru sampai dalam perjanjian PPJB belum proses AJB (Akta Jual Beli) karena proses pembangunan (belum selesai).

“Jika pengembang dinyatakan pailit maka konsumen tipe pertama harus tetap membayar cicilan kepada pihak pemberi kredit. Aset yang telah dibeli secara mencicil tersebut juga tidak termasuk harta pailit dan akan diserahkan kepada konsumen oleh bank jika kewajibannya lunas,” imbuhnya.

Yudho mengungkapkan situasi sulit akan dihadapi konsumen tipe kedua. Jika pengembangnya pailit, konsumen yang baru membayar uang muka dan belum proses AJB akan berubah statusnya menjadi kreditur. Pasalnya, harta benda pengembang tersebut akan masuk harta pailit.

“Kondisi ini tidak menguntungkan konsumen sebagai pihak yang lemah. Mereka juga berpotensi kehilangan hak utamanya memperoleh rumah atau pengembalian uang muka,” ungkap Yudho.

Namun, konsumen yang dirugikan akibat pailit tetap dapat menempuh jalur hukum untuk mendapatkan hak-haknya. Baik secara keperdataan ataupun dalam kontek perlindungan konsumen. Ini sudah diatur dalam pasal 4 UU perlindungan konsumen yang berkaitan dengan hak konsumen mendapatkan ganti rugi yang dialami.

“Karenanya penting sekali untuk mengetahui latar belakang pengembang sebelum membeli properti. Ini adalah cara untuk mengurangi risiko seperti halnya ancaman pengembangnya pailit,” katanya.