<p>Pabrik rokok HM Sampoerna. / Facebook @InsideSampoerna</p>
Industri

Cukai Hasil Tembakau Indonesia Terumit di Dunia

  • JAKARTA – Rumitnya sistem strata tarif cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia membuat banyak tujuan sering kali tidak sejalan satu sama lain. Sebut saja optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi tembakau guna menyokong sektor kesehatan, dan mewujudkan kesinambungan bisnis dan ketenagakerjaan sebagai beberapa di antaranya. “Mencermati kondisi terkini, sangat penting untuk menciptakan suatu iklim usaha yang […]

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Rumitnya sistem strata tarif cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia membuat banyak tujuan sering kali tidak sejalan satu sama lain.

Sebut saja optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi tembakau guna menyokong sektor kesehatan, dan mewujudkan kesinambungan bisnis dan ketenagakerjaan sebagai beberapa di antaranya.

“Mencermati kondisi terkini, sangat penting untuk menciptakan suatu iklim usaha yang kondusif. Dengan kata lain, kebijakan CHT di Indonesia sudah seharusnya mengakomodasi persaingan yang dirasa adil dan tidak berpihak,” kata Bawono Kritiaji, Partner, Tax Research & Training Services DDTC dalam diskusi virtual, Selasa, 22 Juli 2020.

Bahkan, Bank Dunia menyebut CHT di Indonesia merupakan salah satu yang paling rumit di dunia dengan sistem multi-tier berdasarkan produk tembakau, jumlah produksi, dan harga jual eceran (HJE) per unit.

Di satu sisi, CHT merupakan salah satu kontributor besar dalam penerimaan negara. Melansir data Kementerian Keuangan, kontribusi CHT terhadap penerimaan perpajakan pada 2018 dan 2019 mencapai 10,07% dan 10,67%.

Satu dekade lalu, kontribusi CHT tercatat hanya berkisar 8% dari total penerimaan perpajakan. Tidak hanya itu, ada lebih dari 5 juta orang yang menggantungkan hidupnya di industri hasil tembakau (IHT).

“Oleh karenanya, kebijakan cukai yang berimbang akan sangat berdampak luas bagi kondisi perekonomian negara,” imbuh Bawono.

Empat Rekomendasi

Atas dasar latar belakang dan permasalahan fundamental tersebut, Bawono memaparkan sejumlah rekomendasi kebijakan CHT yang dianggap ideal untuk menyeimbangkan banyak aspek. Pertama, melanjutkan peta jalan simplifikasi strata tarif CHT yang mengacu pada PMK 146/2017.

“Simplifikasi sendiri memiliki urgensi paling tinggi dalam konteks IHT di Indonesia. Sebagai catatan pula, kekhawatiran apabila simplifikasi akan menyebabkan terjadinya oligopoli atau monopoli di dalam pasar justru kurang beralasan.”

Terlebih, apabila ditelaah lebih jauh, penurunan jumlah pabrikan IHT justru tidak disebabkan oleh simplifikasi melainkan karena regulasi lain di luar CHT. Di sisi lain, simplifikasi justru dapat mendorong terciptanya level of playing field yang lebih setara.

Kedua, menetapkan nilai optimal atas jarak tarif CHT dan HJE. Setelah simplifikasi dilakukan, penentuan jarak tarif antara CHT dan HJE menjadi faktor yang dapat mendorong stabilitas dan tentunya akan menciptakan iklim usaha yang berkepastian.

Utamanya memperkecil jarak CHT dan HJE golongan 1 dan golongan 2 untuk rokok mesin. Kemudian memperlebar jarak tarif CHT dan HJE antara rokok mesin dengan rokok tangan untuk melindungi tenaga kerja IHT.

Ketiga, menghapus diskrepansi rasio HTP dan HJE untuk mengoptimalkan fungsi pengendalian konsumsi produk tembakau. Keempat, menjamin rencana simplifikasi struktur CHT nasional yang telah disusun dalam Perpres No. 18/2020 dan PMK 77/2020 dapat diimplementasikan secara efektif ke dalam suatu blueprint kebijakan CHT.