<p>Ilustrasi cukai rokok / Beacukai.go.id</p>
Nasional

Cukai Naik, Harga Rokok Tetap Jauh di Bawah Banderol

  • JAKARTA – Pasca pemerintah memberlakukan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 1 Februari 2021, masih banyak rokok yang dijual jauh dari harga banderol yang tercantum pada pita cukai. Berdasarkan penelusuran per tanggal 4 Februari 2021 di wilayah Jakarta Selatan ditemukan, rokok merek Dunhil 16 dijual Rp19.000 padahal harga banderolnya Rp27.200 (70%), merek LA Bold […]

Nasional
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Pasca pemerintah memberlakukan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 1 Februari 2021, masih banyak rokok yang dijual jauh dari harga banderol yang tercantum pada pita cukai.

Berdasarkan penelusuran per tanggal 4 Februari 2021 di wilayah Jakarta Selatan ditemukan, rokok merek Dunhil 16 dijual Rp19.000 padahal harga banderolnya Rp27.200 (70%), merek LA Bold dijual dengan harga Rp 25.000 sementara harga banderolnya Rp34.000 (73%).

Selain itu, merek Magnum Mild 20 dijual seharga Rp24.000 dengan harga banderol Rp34.000 (70%). Kemudian Surya Pro Mild dijual ke konsumen dengan harga Rp20.000 padahal harga banderolnya Rp27.200 (73%).

Menanggapi fakta tersebut, Project Officer for Tobacco Control Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Lara Rizka menyatakan bahwa kenaikan cukai tidak pengaruhi harga rokok.

“Nah kalau untuk melihat dampaknya ke konsumsi rokok kita perlu lihat juga bagaimana dia mempengaruhi harga rokok di pasaran. Kenyataannya walaupun secara teori tarif cukai naik harga rokok juga naik, tapi secara praktis itu tidak terjadi. Kalau pun ada rokok yang naik, pembeli masih bisa memilih rokok yang lebih murah,” kata Lara pada TrenAsia.com beberapa waktu lalu.

Berdasarkan beleid Kemenkeu melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198 Tahun 2020 menyatakan bahwa Harga Transaksi Pasar dibatasi hingga 85% (delapan puluh lima persen) dari Harga Jual Eceran yang tercantum dalam pita cukai hasil tembakau.

Untuk itu Lara mendukung tindakan tegas di lapangan. “Kalau itu fokusnya ke penindakan, jadi yang bisa melakukan adalah bea cukai. Kita hanya bisa bergantung ke petugas bea cukai untuk menindak kalau ada yang melanggar aturan,” ujar Lara.

Lara juga melihat bahwa evaluasi besar saat ini adalah harus bisa melihat pengendalian tembakau sebagai investasi masa depan. “Jadi kalau kita kontrol konsumsi rokok sekarang, efeknya akan terlihat di masa depan, seperti ada pengurangan penyakit. Jadi misalnya hari ini cukai naik, apakah orang-orang akan berhenti merokok. Kan nggak otomatis, pasti ada pengurangannya bertahap”, jelas Lara.

Sebelumnya Peneliti Universitas Indonesia Reny Nurhasanah pada diskusi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan bahwa rokok murah akan meningkatkan peluang anak untuk merokok.

“Kami mengolah sampel dari 7.000 orang. Ternyata, prevalensi anak itu tergantung pada harga dan teman sebaya. Harga jelas ya, mereka belum punya uang sendiri, untuk teman sebaya, terutama remaja yang lebih percaya pada teman sendiri. Jadi makin mahal harga rokok maka akan makin kecil peluang anak untuk merokok, ini efektif pada anak usia SMA,” jelas Reny.

Sejalan dengan itu, pada kesempatan yang berbeda Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menyatakan bahwa kebijakan cukai ke depan akan lebih fokus pada pengendalian konsumsi rokok. Sehingga sudah seharusnya baik aturan maupun pengendalian di lapangan dapat dilakukan secara beriringan dan konsisten.