<p>Ilustrasi cukai rokok dan cukai hasil tembakau (CHT) / Shutterstock</p>
Ekonomi

Cukai Sudah Naik, Harga Rokok Masih Terjangkau?

  • Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5% pada 2021 ternyata tidak menyebabkan perubahan signifikan pada harga rokok yang dijual di pasaran. Banyak perusahaan rokok yang menjual produknya di bawah harga banderol yang tertera di pita cukai.

Ekonomi

Drean Muhyil Ihsan

JAKARTA – Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5% pada 2021 ternyata tidak menyebabkan perubahan signifikan pada harga rokok yang dijual di pasaran. Banyak perusahaan rokok yang menjual produknya di bawah harga banderol yang tertera di pita cukai.

Hal ini dinilai mengurangi efektivitas kebijakan kenaikan tarif cukai. Tidak heran jika prevalensi perokok, khususnya perokok anak tak terkendali karena harganya masih terjangkau.

Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari mengatakan bahwa masalah pengendalian tembakau khususnya prevalensi perokok di Indonesia masih jauh dari harapan. Menurutnya, belum ada kemajuan atau perkembangan yang signifikan terkait pengendalian tembakau.

“Pemerintah gagal karena sebelumnya dari RPJMN 2015 – 2019 inginnya perokok anak turun jadi 5,4 persen. Tetapi ternyata Riskesdas 2018 menunjukkan perokok anak usia 10 – 18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen atau 3,2 juta orang,” ujarnya ketika dihubungi TrenAsia.com, Rabu 3 Februari 2021.

Lisda menyatakan, kegagalan ini seharusnya menjadi evaluasi bagi pemerintah bahwa melindungi anak dan masyarakat dari rokok itu harus dengan peraturan dan regulasi yang kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok.

“Baik dari segi keterjangkauan, harga, promosi, itu masih sangat tidak terlindungi. Jadi walaupun setiap tahun katanya cukai rokok naik, tapi pada kenyataannya harga rokok tetap terjangkau. Terbukti kebijakan cukai tidak menaikkan harga rokok kan?” tambahnya.

Kenaikan Tarif Cukai

Sebelumnya, dalam PMK 198/2020, Kementerian Keuangan telah menetapkan tarif cukai pada 2021 yang mengatur harga rokok di pasar (harga transaksi pasar) yaitu minimal 85% dari harga banderol yang tercantum di bungkus rokok.

Penetapan tersebut tentunya perlu diiringi dengan pengawasan agar para produsen patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Di mana, bea cukai memastikan kepatuhan harga rokok dilakukan melalui pengawasan secara berkala.

Sejak cukai resmi naik, saat ini pantauan harga rokok di lapangan terbukti belum mengalami kenaikan. Misalnya Marlboro yang harga banderolnya adalah Rp35.800 dijual Rp28.500 (80%) di sebuah toko di Jakarta Selatan.

Ada pula merek lainnya seperti Pro Mild yang dijual Rp20.000 sementara harga banderol Rp27.200 (74%) di sebuah toko retail di Kemang Selatan.

Selain itu ada LA Bold yang dijual Rp25.000 padahal harga banderolnya adalah Rp34.000 (74%) di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.

“Rokok itu membahayakan kesehatan, bahkan menyebabkan kematian, dan bersifat adiksi. Adalah sesuatu yang aneh kalau produk berbahaya justru di diskon,” katanya.

“Itu kan bukan sembako, bukan kebutuhan pokok. Jadi kalau ada kebijakan diskon, itu perlu kita pertanyakan, kenapa di diskon? Supaya apa?” tanya Lisda lagi,

Ia menilai kebijakan inilah yang menyebabkan harga rokok menjadi murah dan dapat dengan mudah dibeli oleh masyarakat, khususnya anak-anak.

Oleh sebab itu, katanya, ada semacam kontradiksi antara filosofi cukai dan kebijakan diskon rokok.

“Ini memperlihatkan ternyata pemerintah itu lebih memilih supaya orang membeli rokok murah, daripada melindungi masyarakat dari dampak rokok,” tutur dia.

Pemerintah Tak Serius Tangani Masalah Prevalensi Perokok

Lisda menegaskan, apabila pemerintah serius dalam menangani masalah prevalensi perokok di Indonesia, harga rokok seharusnya sulit dijangkau.

Ditambah, kebijakan cukai menjadi sangat tidak konsisten dengan kebijakan diskon rokok yang membuat harga rokok tetap murah.

“Kalau murah, artinya yang diinginkan makin banyak rokok terjual, makin banyak cukai yang masuk, itu menandakan pemerintah makin tidak mampu mengendalikan konsumsi rokok. Tidak konsisten antara kebijakan tentang cukai, dan kebijakan tentang diskon rokok,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menilai bahwa kebijakan pembatasan harga jual eceran (HJE) harus didorong dan dikaji, jika kebijakan cukai tidak berdampak pada pengendalian tembakau.

“Karena berapapun cukai rokok naik, kalau harga rokok masih rendah ya pasti masih bisa dijangkau,” tukas Lisda.

Sementara itu, Peneliti dari The Prakarsa Herni Ramdlaningrum menyebut, cukai rokok idealnya akan menyebabkan harga rokok naik. Akan tetapi dalam konteks industri rokok, hal tersebut tidak serta merta berlaku.

“Jadi mungkin cukai rokok naik, tapi harga rokok naik tidak terlalu signifikan kenaikannya. Masyarakat punya substitusi terhadap jenis rokok yang lain,” papar Herni. (SKO)