Photo by hitesh choudhary: https://www.pexels.com/photo/man-pouring-water-from-dipper-on-blue-and-grey-house-1739855/
Gaya Hidup

Cultural Capital: Misteri di Balik yang Kaya Tetap Kaya dan yang Miskin Tetap Miskin

  • Dalam esainya tahun 1986 yang berjudul "The Forms of Capital", Bourdieu memecah konsep culture capital menjadi tiga bagian
Gaya Hidup
Rumpi Rahayu

Rumpi Rahayu

Author

JAKARTA - Pernahkah Anda melihat kasus orang yang hidupnya kaya raya, memiliki background keluarga kaya yang tidak pernah kekurangan uang dan begitu mengutamakan pendidikan tiba-tiba jatuh miskin karena bisnisnya bangkrut. Namun, tak perlu waktu lama orang ini bisa kembali kaya, bisnisnya bangkit lagi dan ya bisa ditebak hidupnya bergelimang harta lagi.

Lalu pernahkah Anda mendengar cerita tentang seseorang yang kehidupannya miskin. Lahir dan dibesarkan di lingkungan dengan ekonomi menengah ke bawah. Tidak memiliki akses untuk pendidikan dan fasilitas yang baik. Suatu ketika ia mendapat lotere dan memenangkan hadiah miliaran rupiah namun tak perlu waktu lama ia kembali jatuh miskin lagi dan menjalani kehidupannya yang dahulu.

Mengapa demikian? Mengapa orang kaya yang jatuh miskin bisa kembali kaya dan orang miskin yang mendadak kaya bisa kembali miskin lagi?

Jawabannya adalah karena cultural capital.

Melansir dari laman website Oxford Reference pada Jum'at (19/5/2023), cultural capital atau modal budaya adalah simbol, ide, selera, dan preferensi yang secara strategis dapat digunakan sebagai sumber daya dalam aksi sosial.

Istilah ini pertama kali dikenalkan olen sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu bersama temannya Jean-Claude Passeron dalam makalahnya tahun 1973 yang berjudul "Cultural Reproduction and Social Reproduction".

Cultural capital ini adalah akumulasi dari pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang dapat digunakan seseorang untuk menunjukkan kompetensi budaya dan status sosial seseorang. Cultural capital akan muncul ketika seseorang bertindak, berpikir, atau merasakan sesuatu dengan cara tertentu.

Orang tua kelas menengah dapat membekali anak-anak mereka dengan kompetensi linguistik dan budaya yang akan memberi kesempatan mereka untuk sukses lebih besar seperti pendidikan yang baik, makanan yang sehat dan bergizi, pola parenting yang baik, pembentukan kebiasaan yang baik, bahkan relasi. Maka, tak heran anak-anak mereka dapat mencapai kesuksesan. Ketika, hal buruk terjadi pada bisnis atau karier mereka seperti bangkrut dan terkena PHKpun, mereka bisa dengan cepat bangkit karena sudah dibekali keterampilan yang mumpuni dari cultural capital yang ia miliki.

Sementara orang tua kelas pekerja tidak memiliki semua akses dan sumber daya tersebut. Sehingga kecil kemungkinan mereka akan berhasil dalam sistem pendidikan dan karier.

Bourdieu mengakui bahwa kesuksesan pendidikan mencerminkan cultural capital awal dan cenderung menjadi cara untuk mencapai pekerjaan yang lebih tinggi dan bergaji lebih tinggi.

Dalam esainya tahun 1986 yang berjudul "The Forms of Capital", Bourdieu memecah konsep culture capital menjadi tiga bagian:

1. Cultural capital dalam keadaan yang diwujudkan

Artinya pengetahuan yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu yaitu melalui sosialisasi dan pendidikan akan ada di dalam diri mereka.

2. Cultural capital dalam keadaan yang diobyektifikasi

Hal ini mengacu pada objek material yang dimiliki individu yang mungkin berhubungan dengan tujuan pendidikan mereka misalnya buku dan komputer,  tujuan pekerjaan seperti alat san perlengkapan, pakaian dan aksesoris, barang berkualitas di rumah mereka (furnitur, peralatan, barang dekoratif), dan bahkan makanan yang mereka beli dan konsumsi. Bentuk-bentuk modal budaya yang diobyektifikasi ini cenderung menandakan kelas ekonomi seseorang.

3. Cultural capital yang dilembagakan

Terakhir, cultural capital ada dalam keadaan terlembagakan. Dalam hal ini mengacu pada cara-cara di mana modal budaya diukur, disertifikasi, dan diberi peringkat. Contohnya adalah kualifikasi dan gelar akademik, begitu pula jabatan, dan peran sosial seperti dari suami, istri, ibu, dan ayah.