<p>Ilustrasi kerja sama bank dengan financial technology / ScienceSoft</p>
Industri

Daftar Anyar Calon Bank Digital: Kinerja dan Prospek, Antara Digitalisasi atau Sekadar Sensasi

  • OJK mencatat, dari 107 bank umum yang ada di Indonesia, sudah banyak yang mengajukan izin untuk mengubah strategi bisnisnya ke digital.

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Digitalisasi di industri perbankan tak lagi terelakkan. Kini, nyaris semua bank bersiap migrasi menjadi bank digital.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana menilai kondisi saat ini tak lagi memberikan pilihan bagi perbankan untuk tidak beralih ke digital. Sehingga, kesiapan dan kecepatan perbankan untuk beralih menentukan eksistensi bank itu sendiri.

“Bukan lagi bicara siap atau tidak, tapi ini keharusan. Kalau ada bank yang tidak mau beralih pasti akan ditinggalkan nasabah,” kata Heru dalam webinar beberapa waktu lalu.

Antusiasme dan dukungan tak hanya tercermin dari regulator, sebagai pelaku, industri perbankan tampak seolah tengah berlomba-lomba menjadi bank digital. OJK mencatat, dari 107 bank umum yang ada di Indonesia, sudah banyak yang mengajukan izin untuk mengubah strategi bisnisnya ke digital.

Bukan hanya itu, banyak investor yang terang-terangan mengakui sedang melakukan penjajakan dengan sejumlah bank untuk menyuntikkan dananya di sana. Di antara yang santer terdengar, sebut saja ada PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) melalui PT Dompet Anak Bangsa (GoPay) melakukan aksi borong saham PT Bank Jago Tbk (ARTO).

Kemudian, induk perusahaan Shopee, yakni SEA Group mencaplok PT Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE). Bahkan, Akulaku milik Grup Alibaba ikut mengakuisisi PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB).

Maraknya investasi dan akuisisi tak lepas dari aturan modal inti minimum bank yang ditetapkan oleh OJK. Sebagaimana diketahui, OJK memberikan syarat modal inti minimum yang cukup tinggi bagi pihak yang ingin membentuk entitas bank digital baru, yakni Rp10 triliun.

Sederet bank yang mengajukan izin bank digital
Nasabah mendaftar di mesin customer service digital di gerai BCA Mal Gandaria City, Jakarta Selatan, Kamis, 22 Oktober 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Hingga kini, OJK belum merilis aturan resmi mengenai bank digital. Rencananya, POJK terkait bank digital akan berlaku pada awal semester II-2021.

Seperti yang sudah diakui OJK di awal, sebagian besar perbankan nasional sudah mengajukan izin bank digital ke regulator. Dengan ini, TrenAsia.com menghimpun sejumlah bank yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai bank digital.

Di antaranya adalah PT Bank BTPN Tbk (BTPN) melalui aplikasi perbankan digitalnya yakni Jenius. Bank Jago, PT Bank KB Bukopin Tbk (BBKP) lewat Wokee. Kemudian, PT Bank Harda Internasional Tbk (BBHI) yang baru saja diakuisisi Mega Corpora milik konglomerat Chairul Tanjung.

Lalu ada PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB), kemudian ada PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI). Selanjutnya, bank swasta terbesar di Tanah Air milik konglomerat paling tajir Keluarga Hartono, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang mengakuisisi Bank Royal untuk membentuk bank digital.

Terbaru, PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP) milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo melaporkan telah mengantongi izin layanan digital.

Selain beberapa contoh di atas, ada pula bank yang mengaku belum berniat berubah menjadi bank digital. Meski begitu, bukan berarti tak melakukan transformasi layanan digital.

Sejumlah bank yang belum tertarik menjadi bank digital antara lain, PT QNB Indonesia Tbk (BKSW), PT Bank Bumi Arta Tbk (BNBA), dan PT Bank Victoria International Tbk (BVIC).

Selain itu ada PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA), PT Bank Artha Graha Internasional Tbk (INPC), PT Bank Nationalnobu Tbk (NOBU). PT Bank IBK Indonesia Tbk (AGRS), PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS), dan PT Bank Ganesha Tbk (BGTG).

Kinerja bank yang bertransformasi ke digital
Mitra Driver Gojek menunggu customer di dekat logo Bank Jago di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa, 16 Februari 2021. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia

Di balik ingar bingar bank digital, investor kawakan seperti Lo Kheng Hong menyatakan enggan berinvestasi pada emiten berbasis teknologi, seperti Bank Jago misalnya. Kala itu, Lo Kheng Hong tak berminat karena Bank Jago memiliki valuasi yang nilainya 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan asetnya.

Tidak hanya itu, kinerja keuangan Bank Jago pada kuartal I-2021 juga belum menunjukkan hasil positif. Bank Jago membukukan rugi tahun berjalan sebesar Rp38,13 miliar pada kuartal I-2021, bengkak 50,26% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp25,37 miliar. Hal ini menambah daftar panjang rekam jejak kerugian perseroan yang tercatat telah terjadi sejak 2015.

Tak jauh berbeda dengan Bank Jago, PT Bank Net Indonesia Syariah Tbk alias PT Bank Aladin Syariah Tbk (Bank Aladin) justru mencatat penurunan laba bersih sebesar 41,96% dari periode 2019 sebesar Rp77,30 miliar menjadi Rp44,87 miliar pada 2020.

Beralih dari Bank Jago dan Bank Aladin, ada pula bank yang meraup untung dalam prosesnya bertransformasi menjadi bank digital. Bank BTPN membukukan laba bersih sebesar Rp971 miliar pada kuartal 1-2021, naik 29% yoy dari Rp752 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Setali tiga uang, PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (BRI Agro) juga mencetak laba bersih senilai Rp17,86 miliar pada kuartal I-2021. Meningkat 6,5% yoy dari posisi sama tahun lalu Rp16,70 miliar.

Sebagai bank swasta terbesar di Indonesia, BCA juga meraup laba bersih sebesar Rp7 triliun, tumbuh 7% secara yoy.

Keunggulan bank digital
Karyawati menunjukkan mata uang rupiah dan dolar di kantor cabang Bank Mandiri, Jakarta, Senin, 22 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Kehadiran bank digital tak hanya mempermudah akses layanan perbankan, namun turut membuka peluang suku bunga dasar kredit bank (SBDK) lebih rendah dibandingkan dengan bank konvensional.

Heru menyampaikan SBDK bank digital berpotensi lebih rendah karena sejumlah komponen pembentuk seperti harga pokok dana untuk kredit (HPDK), biaya overhead (OHC), dan premi risiko mengalami efisiensi.

Contohnya, overhead bank digital akan lebih rendah karena tak lagi membutuhkan banyak kantor. Dari aspek premi risiko, analisis kredit akan menggunakan kecerdasan buatan sehingga menghasilkan skor kredit yang lebih baik dengan proses yang cepat dan tepat.

“Dengan efisiensi itu, SBDK pasti akan lebih rendah karena operasionalnya efisien. Saya yakin akan seperti itu, bank digital lebih bersaing karena SBDK pasti lebih rendah,” katanya.

Potensi lebih rendahnya SBDK bank digital tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi nasabah.

Kelemahan bank digital
Model menunjukkan fitur melalui gawai saat prelaunching Aplikasi Mobile Banking, “M Syariah” di Jakarta, Senin, 12 April 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Masifnya perkembangan teknologi di industri keuangan tak luput dari celah sistem keamanan. Kian canggihnya teknologi tak membuat peluang terjadinya kejahatan siber memudar.

Ini tercermin dari masih banyaknya kejadian yang mencoreng nama baik perbankan seperti hilangnya uang nasabah, salah transfer, hingga pencurian yang menimpa sejumlah perbankan nasional mulai dari bank kecil hingga kelas kakap.

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja menilai, kejahatan di industri perbankan harus dilihat dari berbagai aspek. Sehingga tidak melulu harus dilihat dari kelemahan dari sisi perbankan. 

“Jika kesiapan nasabah dan SDM (sumber daya manusia) bank sudah memadai, kejayaan era bank digital sudah di depan mata,” kata Ardi kepada TrenAsia.com.

Akan tetapi, terdapat satu faktor yang tidak disadari yakni semua teknologi infrastruktur yang digunakan saat ini adalah impor. Sehingga, kelemahan-kelemahan yang ada tidak selalu terdeteksi atau diantisipasi.

Prospek bank digital
Petugas edukator mendampingi nasabah mengganti kartu debit ATM dengan chip menggunakan Customer Service Machine (CSM) di kantor cabang Bank Mandiri Edu-Branch, Pondok Indah Mall 1, Jakarta, Kamis, 18 Februari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Pengamat perbankan, Paul Sutaryono mengungkapkan, di balik plus dan minusnya, prospek bisnis bank digital tetap menjanjikan. Asal, industri perbankan memiliki manajemen dan mitigasi risiko yang berkelanjutan.

Senada dengan Ardi, Paul juga sepakat dengan besarnya potensi risiko di era digital. Dari segi bisnis, Paul menyebut bank harus memiliki ekosistem bank digital.

Artinya, bank bukan hanya mempunyai infrastruktur digital. Tetapi bank juga sudah harus mempertimbangkan manfaat dan meningkatkan literasi keuangan melalui digitalisasi itu.

“Bank digital akan jadi tren, tapi apakah semua bank harus menjadi bank digital? Tidak, yang penting bank sehat dan berkembang,” kata Paul. (SKO)