Gedung Adaro Energy di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Korporasi

Dalam 5 Tahun, Setoran Royalti Batu Bara dan Pajak Adaro Energy Melambung 367 Persen

  • PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) merupakan salah satu perusahaan batu bara terbesar di Indonesia
Korporasi
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) merupakan salah satu perusahaan batu bara terbesar di Indonesia. Dengan kata lain, perusahaan ini mengalirkan banyak setoran uang ke kas negara.

Dua sumber utama pendapatan itu berasal dari pembayaran royalti tambang dan pembayaran pajak. Dua komponen pajak tersebut adalah pajak penghasilan badan dan pajak penghasilan final.

Laporan keuangan tahun 2023 mencatat, berdasarkan arus kas dari aktivitas operasi perseroan, total royalti yang dibayarkan ke pemerintah mencapai US$1,51 miliar atau setara dengan Rp23,43 triliun (asumsi kurs Jisdor 29 Desember 2023 Rp15.439 per dolar Amerika Serikat/ AS). Royalti tahun lalu meningkat 28,34% dari 2022 US$1,18 miliar. 

Sementara besaran pajak penghasilan badan dan penghasilan final mencapai US$1,52 miliar, setara dengan Rp23,61 triliun. Setoran pajak Adaro bertambah 79,94% dari tahun 2022 yang saat itu sebesar US$850,01 juta.

Sehingga dari dua sumber kewajiban tadi,  setoran ADRO ke negara menembus angka sekitar Rp47,04 triliun.

Nilai tersebut melonjak 367,47% dibandingkan tahun 2019. Pada tahun itu, setoran royalti ADRO US$344 juta dan dua komponen pajak badan serta penghasilan final ADRO hanya US$306,94 juta.

Kenaikan Tarif Royalti

Tidak mengherankan mengapa setoran royalti batu bara perusahaan milik Garibaldi ‘Boy’ Thohir ini mencuat hingga 70% lebih. Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo menyetujui penetapan kenaikan terhadap iuran produksi atau tarif royalti batu bara bagi perusahaa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara naik maksimal 13,5%. Tarif royalti progresif ini mengacu dengan harga batu bara acuan (HBA).

Hal ini diteken Presiden melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, adanya PP ini sekaligus untuk mencabut PP Nomor 81 Tahun 2019.

Dengan tarif baru ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan realisasi pemasukan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor ESDM hingga akhir kuartal III-2023 sebesar Rp224 triliun.

Realisasi PNBP tersebut mencapai 99,90% dari target tahun ini sebesar Rp225 triliun. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan bahwa realisasi PNBP sektor ESDM didongkrak oleh pendapatan SDA subsektor mineral dan batu bara (minerba) yang melesat melebihi dari target tahun 2023 hingga 155,93%.

"Dari target yang dicanangkan, PNBP minerba sudah mencapai Rp132 triliun dari target Rp85 triliun, atau secara persentase mencapai 155,93 persen," ungkap Agung di Jakarta, Sabtu (14/10).

PNBP dari subsektor minerba utamanya berasal dari peningkatan iuran produksi atau royalti batu bara, dan merupakan dampak dari implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM. Sehingga, meski rata-rata Harga Batu bara Acuan (HBA) mengalami penurunan selama periode bulan Januari sampai dengan Agustus 2023, namun kenaikan tarif royalti batu bara mampu menutupi penurunan HBA tersebut.

Kebalikannya dengan negara, kenaikan tarif royalti rupanya mengikis keuntungan Adaro Energy. Berdasarkan publikasi keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), laba bersih 2023 ADRO ini lebih rendah 34,16% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2022 yang menembus US$2,49 miliar.

Penurunan laba bersih ADRO tidak terlepas dari penurunan pendapatan bersih sebesar 19,56% year-on-year (YoY), dari US$8,10 miliar atau sekitar Rp125,09 triliun menjadi US$6,51 miliar yang setara dengan Rp100,62 triliun. 

Selama tahun 2023, beban pokok pendapatan ADRO juga mengalami kenaikan sebesar 15,39%, mencapai US$3,98 miliar, dibandingkan dengan tahun 2022 yang hanya sebesar US$3,44 miliar.

Peningkatan beban pokok pendapatan terutama dipicu oleh kenaikan biaya royalti kepada pemerintah sebesar 19,18%, mencapai US$1,46 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya US$1,23 miliar.