Ilustrasi industrasi reasuransi.
IKNB

Dampak Berakhirnya Pembatalan Polis Sepihak di Asuransi: Tantangan dan Konsekuensi Hukum

  • Dengan adanya keputusan MK ini, pihak perusahaan asuransi tidak bisa lagi membatalkan polis secara sepihak. Sebelumnya, perusahaan asuransi bisa membatalkan polis secara sepihak, yang mana biasanya pembatalan itu terjadi ketika ditemukan adanya pelanggaran klausul dari pihak pemegang polis.

IKNB

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Dalam langkah yang mengubah lanskap hukum asuransi di Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 83/2024 menyatakan bahwa Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) bertentangan dengan konstitusi. 

Keputusan ini membawa dampak besar bagi industri asuransi, baik dari sisi perlindungan hukum bagi pemegang polis maupun pelaku usaha asuransi. 

Pasalnya, dengan adanya keputusan MK ini, pihak perusahaan asuransi tidak bisa lagi membatalkan polis secara sepihak. Sebelumnya, perusahaan asuransi bisa membatalkan polis secara sepihak, yang mana biasanya pembatalan itu terjadi ketika ditemukan adanya pelanggaran prosedural dari pihak pemegang polis. 

Kornelius Simanjuntak, anggota Dewan Pengawas Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), menjelaskan bahwa Pasal 251 KUHD selama ini dinilai MK tidak memberikan perlindungan hukum, kepastian hukum, serta keadilan bagi tertanggung atau pemegang polis. 

Alasan Mahkamah Konstitusi Membatalkan Pasal 251 KUHD

Majelis Hakim MK mendasarkan keputusan ini pada beberapa poin utama:

  1. Tidak Memberikan Perlindungan Hukum: Norma Pasal 251 KUHD tidak menjamin perlindungan hukum yang memadai bagi tertanggung atau pemegang polis.
  2. Kurangnya Kepastian Hukum dan Keadilan: Pasal tersebut tidak menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban kedua pihak.
  3. Ketidakmengikatan Norma: Pasal ini tidak memiliki kekuatan mengikat, baik bagi tertanggung maupun penanggung.
  4. Bertentangan dengan UUD 1945: Norma Pasal 251 dinilai tidak relevan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam konstitusi.

Sebagai solusi, MK menetapkan bahwa pembatalan pertanggungan hanya dapat dilakukan melalui kesepakatan antara penanggung dan tertanggung atau melalui putusan pengadilan. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi semua pihak dalam perjanjian asuransi.

Dampak Langsung terhadap Proses Klaim Asuransi

Sebelum putusan ini, Pasal 251 KUHD memungkinkan pembatalan polis secara sepihak jika terdapat kesalahan informasi dari tertanggung. Namun, setelah keputusan MK, pembatalan sepihak tidak lagi diperbolehkan. 

"Polis tidak dapat batal dengan sendirinya dan tidak dapat dibatalkan sepihak oleh penanggung,” ujar Kornelius dalam Sosialisasi Putusan MK Nomor 83/2024 dan Implikasinya terhadap Industri Asuransi Umum di Jakarta, Senin, 20 Januari 2025. 

Dalam kasus di mana pemegang polis terbukti tidak beritikad baik, seperti menyembunyikan informasi atau memberikan data tidak benar, penanggung masih dapat menolak klaim, tetapi tidak dapat membatalkan polis tanpa persetujuan atau proses hukum. 

Kornelius pun memberikan contoh, misalnya ada suatu perusahaan yang mengasuransikan bangunan pabriknya. Ketika sedang menyusun perjanjian polis, perusahaan tersebut menyebutkan bahwa sejak pabrik berdiri, belum pernah ada kasus kebakaran yang terjadi. Padahal, diam-diam perusahaan tersebut sudah beberapa kali mengajukan klaim terkait kasus kebakaran yang sebenarnya pernah terjadi. 

Lalu, saat ditanyai terkait kelengkapan peralatan pemadam kebakaran untuk memitigasi risiko, perusahaan tersebut misalnya mengatakan bahwa mereka memiliki 100 alat pemadam kebakaran. Padahal, hanya ada 10 alat pemadam kebakaran yang mereka miliki di pabrik. Dengan kata lain, dalam contoh ini, perusahaan yang menjadi pemegang polis tidak memberikan keterangan secara jujur kepada perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung. 

“Dalam kondisi ini, boleh tidak perusahaan asuransi menolak klaim? Boleh, tetapi tidak boleh membatalkan polis. Sesuai dengan pasal 251 KUHD (sebelum direvisi MK), kalau tertanggung tidak jujur, dalam menyampaikan informasi dan data-data keterangan mengenai objek yang dipertanggungkan, maka polis itu batal dengan sendirinya, dan perusahaan asuransi juga mempunyai hak langsung membuat endorsement pembatalan,” papar Kornelius. 

Jika perusahaan asuransi memandang bahwa terdapat kondisi yang mengharuskan mereka membatalkan polis atau klaim, pihak perusahaan asuransi harus melibatkan mediator untuk menyelesaikan sengketa.

Pasalnya, Kornelius membayangkan, tanpa adanya mediator, tentu pihak tertanggung akan menolak jika perusahaan asuransi mengajukan pembatalan polis atau klaim. Dalam hal ini, mediator yang berperan adalah Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK). Namun, jika mediasi melalui LAPS SJK tidak membuahkan hasil yang diharapkan, maka mediasi akan dilanjutkan ke ranah hukum. 

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan pihaknya berharap putusan MK ini tidak menyebabkan banyaknya gugatan di pengadilan terkait dengan sengketa klaim asuransi. 

“Maka dari itu, kami dari industri akan melakukan penyesuaian terhadap polis untuk ke depannya,” kata Budi dalam kesempatan yang sama. 

Budi menilai bahwa dengan adanya putusan MK ini, diperlukan penyederhanaan dalam polis yang nantinya akan disepakati dengan pihak tertanggung. 

Penyederhanaan ini diperlukan agar pemegang polis bisa lebih memahami secara jelas mengenai klausul-klausul dalam perjanjian yang disepakati. Dengan demikian, diharapkan ke depannya tidak akan banyak terjadi sengketa yang berkaitan dengan klaim antara pihak penanggung dan tertanggung. 

Kasus Uji Materi Pasal 251 KUHD

Keputusan MK ini tidak terlepas dari kasus uji materi yang diajukan oleh Maribati Duha, ahli waris dari penerima manfaat klaim asuransi jiwa almarhum Sopan Santun Duha. 

Dalam permohonannya, Maribati menyatakan bahwa Pasal 251 KUHD merugikan hak konstitusionalnya karena perusahaan asuransi menggunakan pasal ini untuk menolak klaim secara sepihak.

Kasus ini bermula ketika polis asuransi almarhum sempat tidak aktif (lapsed) akibat cuti premi pada Februari 2020. Polis tersebut dipulihkan pada Maret 2022 setelah memenuhi persyaratan, termasuk pembayaran premi tertunggak dan pemeriksaan kesehatan. 

Namun, setelah almarhum meninggal pada Juli 2022, PT Prudential Life Assurance hanya membayar klaim sebesar Rp224,5 juta dari total manfaat Rp735 juta. Alasan yang digunakan adalah adanya informasi kesehatan yang tidak diungkapkan secara lengkap oleh almarhum saat memulihkan polis.

Kritik terhadap Pasal 251 KUHD

Maribati Duha dan tim kuasa hukumnya mengajukan sejumlah kritik terhadap Pasal 251 KUHD:

  1. Pasal ini tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada tertanggung.
  2. Norma ini hanya membebankan kewajiban beritikad baik kepada tertanggung tanpa kewajiban serupa bagi penanggung.
  3. Pasal ini sering kali digunakan oleh perusahaan asuransi untuk menolak klaim secara sepihak.
  4. Norma dalam pasal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam UUD 1945.

Pandangan Mahkamah Konstitusi

Dalam putusannya, MK menyoroti bahwa norma dalam Pasal 251 KUHD sering digunakan untuk menolak klaim dengan alasan adanya informasi yang tidak diungkapkan oleh tertanggung, meskipun dilakukan dengan itikad baik. 

MK juga menegaskan pentingnya prinsip kejujuran atau utmost good faith dalam hubungan antara penanggung dan tertanggung. Namun, ketidakseimbangan posisi antara kedua pihak menjadi perhatian utama. 

Tertanggung sering kali berada pada posisi yang lebih lemah karena kurang memahami ketentuan polis yang biasanya disusun dalam format baku.

Konsekuensi Hukum bagi Industri Asuransi

Keputusan MK ini memaksa pelaku usaha asuransi untuk melakukan sejumlah penyesuaian, di antaranya:

  1. Peninjauan Ulang Dokumen Asuransi: Pelaku usaha asuransi harus menyesuaikan surat permohonan asuransi (SPA) dan polis standar, termasuk yang digunakan oleh perusahaan global seperti Munich Re dan Swiss Re.
  2. Perubahan dalam Reasuransi: Kerja sama reasuransi, baik treaty maupun fakultatif, perlu diperbarui untuk mencerminkan perubahan hukum ini.
  3. Edukasi Pelaku Usaha: Perusahaan asuransi perlu memberikan edukasi kepada tenaga pemasaran, agen, underwriter, dan staf klaim agar memahami implikasi hukum baru.
  4. Kerja Sama Bancassurance: Perjanjian dengan perbankan dalam skema bancassurance harus ditinjau ulang untuk memastikan kesesuaian dengan putusan MK.
  5. Penyesuaian Ekosistem Asuransi: Penyesuaian menyeluruh terhadap syarat dan ketentuan pembayaran premi, serta kerja sama dengan pialang asuransi, menjadi kebutuhan mendesak.

Perubahan Nama dan Klausul Dokumen Asuransi

Salah satu usulan dari AAUI adalah mengganti nama Surat Permohonan Penutupan Asuransi (SPPA) menjadi Surat Permohonan Asuransi Umum (SPAU) agar lebih seragam dengan istilah dalam asuransi jiwa. 

Kornelius juga mengusulkan perubahan preambul polis asuransi kendaraan bermotor untuk memperkuat aspek hukum. 

"Informasi dalam SPAU harus menjadi dasar utama penerbitan polis dan klaim," tegas Kornelius.

Mengubah Tantangan Menjadi Peluang

Kornelius Simanjuntak menilai bahwa putusan MK ini merupakan "blessing in disguise" atau berkah terselubung bagi industri asuransi. Menurutnya, dengan melakukan perubahan pada dokumen dan proses asuransi, sistem yang lebih transparan dan adil dapat tercipta.

Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antarpelaku usaha jasa asuransi untuk menyamakan persepsi dan praktik dalam menangani klaim. "Jika sengketa klaim sampai ke pengadilan, kehadiran ahli yang dapat memberikan penjelasan jelas akan sangat membantu," tambahnya.

Pentingnya Edukasi dan Mediasi

Edukasi kepada masyarakat menjadi faktor kunci dalam mengurangi sengketa asuransi. Kornelius menyarankan bahwa semua pihak, baik penanggung maupun tertanggung, harus memahami prinsip utmost good faith dengan baik. 

"Dalam hal terjadi perselisihan, mediasi harus menjadi langkah awal sebelum kasus ini dibawa ke ranah hukum," ujar Kornelius.