Nampak aktifitas sebuah pabrik pengolahan sampah plastik dan daur ulang di kawasan Tangerang Banten, Senin 7 November 2022. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Makroekonomi

Dampak Insentif Industri Plastik, Potensi Ekonomi Rp7,5 T Bisa Raib

  • Sejumlah insentif pajak untuk industri plastik dinilai bakal kontraproduktif terhadap lingkungan serta pendapatan negara. Potensi ekonomi yang hilang dari penerapan kebijakan tersebut bahkan disebut mencapai Rp7,5 triliun per tahun. Pemerintah disarankan mengkaji ulang regulasi terkait insentif pajak, mulai dari PPN maupun PPh, untuk industri virgin plastik.

Makroekonomi

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Sejumlah insentif pajak untuk industri plastik dinilai bakal kontraproduktif terhadap lingkungan serta pendapatan negara. Potensi ekonomi yang hilang dari penerapan kebijakan tersebut bahkan disebut mencapai Rp7,5 triliun per tahun. 

Pemerintah disarankan mengkaji ulang regulasi terkait insentif pajak, mulai dari PPN maupun PPh, untuk industri virgin plastik. Hal itu mengemuka dalam riset The Prakarsa berjudul “Plastik dan Ketidakadilan Insentif Pajak”. 

Riset menyebutkan industri plastik saat ini telah mendapatkan sejumlah keringanan pajak seperti tax holiday hingga pembebasan bea masuk bahan baku.  Selain itu, industri plastik berpotensi mendapatkan tax allowance melalui Perpres No. 78 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Perindustrian No. 48 Tahun 2015. 

Insentif diberikan untuk menggenjot kapasitas produksi plastik, terutama plastik virgin yang lebih harganya lebih kompetitif.  Peneliti Prakarsa menyebut ada potensi kehilangan pendapatan pajak mencapai US$54 juta atau Rp810 miliar per tahun dampak sejumlah insentif. 

Tak hanya itu, kerugian ekonomi akibat polusi plastik diperkirakan mencapai US$450 juta atau Rp6,75 triliun per tahun. Artinya, ada potensi ekonomi sekitar Rp7,5 triliun yang hilang dari penerapan insentif untuk industri plastik. Prakarsa menyebut sektor yang terdampak langsung dengan kebijakan itu seperti perikanan, transportasi, dan pariwisata. 

Deretan sektor itu bisa mengalami kerugian besar akibat polusi plastik. Penelitian juga menunjukan bahwa beban itu juga menambah tekanan pada anggaran pemerintah yang harus dialokasikan untuk mitigasi dampak polusi.

Kondisi ini berpotensi mengurangi kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak. Selain itu, ditemukan adanya ketidakselarasan antara kebijakan ekonomi dan tujuan lingkungan. 

Meskipun pemerintah berupaya mengurangi limbah plastik melalui ekonomi sirkular dan larangan plastik sekali pakai, insentif pajak bagi industri plastik tetap mendominasi kebijakan fiskal. “Hal ini menimbulkan konflik antara dorongan pertumbuhan industri plastik dan target pengurangan emisi karbon dan pembangunan yang berkelanjutan,” tulis riset tersebut. 

Prakarsa mendorong Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meninjau ulang kebijakan terkait insentif pajak, baik PPN maupun PPh, untuk industri virgin plastik yang berasal dari impor maupun produksi prekursor plastik. 

Mereka juga mendorong dampak pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan remediasi polusi plastik wajib jadi pertimbangan. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) diminta menetapkan larangan secara bertahap dalam hal penggunaan plastik di sejumlah sektor. 

KLH bersama bersama Kemenkeu dan Kementerian Perdagangan harus mengeluarkan peraturan yang mendorong penerapan sistem Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas untuk memastikan produk dan kemasan produksi mereka yang dapat didaur ulang, ditarik kembali oleh produsen untuk diolah lebih jauh dengan cara-cara yang berwawasan lingkungan. 

Riset tersebut juga meminta industri produsen plastik wajib melakukan asessment risiko lingkungan, memitigasi dan menangani risiko yang muncul pada aspek lingkungan dan sosial. 

Selain itu, industri olefin, aromatik dan ammonia yang memproduksi plastik wajib meningkatkan prinsip-prinsip transparansi dalam pengendalian pencemaran dan meningkatkan publikasi laporan terkait emisi dan lepasan yang dapat diakses publik.

Impor Plastik

Indonesia diketahui menjadi salah satu negara pengimpor sampah plastik terbesar di dunia. Pada 2022, RI tercatat menimbun sampah plastik dari luar negeri mencapai 194 ribu ton. Kondisi ini membuat problem sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA) semakin menjadi-jadi. 

Namun KLH membuat gebrakan dengan menyetop impor sampah plastik mulai 2025. Pemerintah memastikan tidak akan menerbitkan rekomendasi baru untuk impor sampah tersebut. “Tidak ada lagi impor sampah plastik, selesai tahun ini,” ujar Menteri LH, Hanif Faisol Nurofiq, di Jakarta, dikutip dari Antara, Senin 4 November 2024. 

Menteri menegaskan kebijakan itu diambil untuk menyelesaikan problem TPA di sejumlah wilayah yang melebihi kapasitas. Menurut Hanif, rencana penghentian impor sampah plastik merupakan instruksi langsung Presiden Prabowo Subianto. “Beliau (Prabowo) meminta kami menghentikan impor sampah plastik,”ujar Menteri LH. 

Baca Juga: Jejak Impor Sampah Indonesia, Sempat Jadi Pengimpor Terbesar

Hanif mengatakan Indonesia tidak perlu menerima impor sampah plastik karena ketersediaan di TPA sebenarnya melimpah ruah. Sampah tersebut, imbuhnya, dapat dipilah dan didaur ulang masyarakat maupun industri. 

Informasi yang dihimpun TrenAsia.com, Indonesia selama ini menjadi tujuan ekspor sampah plastik sejumlah negara besar seperti Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat. Negara tetangga seperti Singapura dan Australia juga menjadi penyumbang sampah plastik signifikan bagi Indonesia. 

Kementerian LH membeberkan selama ini Indonesia menjadi tujuan strategis lantaran lebih ekonomis. Hanif mengatakan negara eksportir sampah plastik harus mengeluarkan biaya mahal untuk membakar sampah di negaranya. “Jadi akhirnya dibuang ke Indonesia. Mereka bayar lebih murah ke orang Indonesia yang mau impor,” ujar Hanif.