Bappeda Kukar bekerja sama dengan peneliti UGM wujudkan lumbung pangan.
Perbankan

Dampak Kenaikan Suku Bunga Global terhadap Kredit Pertanian

  • OJK meyoroti bahwa pengendalian tekanan inflasi global melalui pengetatan kebijakan moneter berpotensi memberikan dampak signifikan bagi usaha pertanian tanaman pangan, khususnya dari perspektif biaya bunga kredit.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merangkum dampak tren kenaikan suku bunga global terhadap kredit pertanian melalui Laporan Surveillance Perbankan Indonesia Triwulan III 2023.

Dikutip dari laporan tersebut, OJK meyoroti bahwa pengendalian tekanan inflasi global melalui pengetatan kebijakan moneter berpotensi memberikan dampak signifikan bagi usaha pertanian tanaman pangan, khususnya dari perspektif biaya bunga kredit. 

Kenaikan harga pangan menjadi salah satu pendorong utama lonjakan inflasi global dalam beberapa waktu terakhir. 

Bank Sentral di berbagai negara, termasuk The Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat, telah mengambil langkah-langkah kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga untuk mengendalikan laju inflasi. 

Pada tahun 2023, The Fed telah beberapa kali menaikkan suku bunga, terakhir kali pada bulan Juli, dan menahan suku bunga acuannya di kisaran 5,25%-5,5% hingga bulan September.

Bank Indonesia (BI) juga merespons situasi ini dengan mengimplementasikan langkah-langkah pengetatan kebijakan moneter, mengatur suku bunga BI7DRR di level 5,75% pada bulan September 2023. 

Namun, kebijakan tersebut tidak hanya memengaruhi sektor keuangan, tetapi juga berpotensi berdampak besar pada sektor pertanian, terutama bagi petani tanaman pangan.

Dalam konteks peningkatan suku bunga, suku bunga pinjaman juga akan naik, yang pada gilirannya akan membuat biaya pinjaman menjadi lebih mahal. 

Dampaknya, permintaan kredit dapat menurun, dan kemampuan masyarakat, termasuk petani, untuk membayar pinjaman juga bisa terpengaruh. 

Khususnya, petani mungkin menghadapi tantangan dalam mengelola biaya produksi yang meningkat akibat bunga kredit yang lebih tinggi.

Menurut OJK, apabila potensi risiko ini tidak dikelola dengan efektif, kualitas kredit pada sektor pertanian, terutama tanaman pangan, dapat mengalami penurunan. 

Pada bulan September 2023, kredit pertanian memiliki porsi sekitar 7,03% terhadap total kredit, setara dengan Rp474,13 Triliun, dan mengalami pertumbuhan sebesar 7,43% secara year-on-year (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Penyaluran kredit pada subsektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan mendominasi, mencapai porsi 15,46% atau setara dengan Rp74,3 Triliun, dengan pertumbuhan sebesar 6,54% yoy.

Meskipun pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan tahun sebelumnya, kualitas kredit pertanian tanaman pangan dan perkebunan masih terjaga di bawah batas threshold 5%, yaitu sebesar 2,42% yoy, meskipun mengalami sedikit penurunan dari 1,85% pada tahun sebelumnya.

Jika kita melihat berdasarkan komoditas, penyaluran kredit pertanian padi memiliki porsi paling besar, mencapai 38,94% atau setara dengan Rp28,93 Triliun. 

Pertumbuhan kredit pertanian padi masih cukup positif, sebesar 14,83% yoy, meskipun mengalami perlambatan dari pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 33,70% yoy. 

Kualitas kredit pertanian padi juga masih terjaga relatif baik, sebesar 2,11% yoy, yang sedikit membaik dari 2,27% pada tahun lalu.

Selain itu, OJK memandang perkembangan ini mengindikasikan bahwa meskipun terjadi lonjakan inflasi akibat kenaikan harga komoditas bahan pangan dan peningkatan suku bunga pinjaman, industri perbankan tetap mampu menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik. 

Pembiayaan masih dapat disalurkan kepada sektor pertanian, termasuk tanaman pangan, secara tepat sasaran berdasarkan prinsip kehati-hatian.

Dalam menghadapi kondisi ekonomi yang berubah-ubah, OJK menilai bahwa para pelaku usaha pertanian perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menjaga daya saing dan ketahanan ekonomi mereka. 

Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain adalah diversifikasi sumber pendapatan, penggunaan teknologi yang efisien, dan pengelolaan risiko yang cermat.

Diversifikasi sumber pendapatan menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis tanaman atau komoditas saja. 

Petani dapat mempertimbangkan untuk menanam berbagai jenis tanaman atau bahkan mengembangkan kegiatan usaha lain yang terkait dengan pertanian. Hal ini dapat membantu meredakan dampak fluktuasi harga komoditas tertentu atau perubahan dalam kondisi pasar.

Penggunaan teknologi yang efisien juga dapat menjadi kunci dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi biaya. 

Penerapan teknologi pertanian modern, seperti irigasi cerdas, pemantauan pertanian berbasis sensor, dan penggunaan varietas tanaman unggul, dapat membantu petani meningkatkan hasil panen mereka dan sekaligus mengurangi biaya produksi.

Pengelolaan risiko yang cermat juga merupakan aspek krusial dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi. Petani dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi instrumen keuangan atau asuransi pertanian guna melindungi diri dari risiko perubahan harga, cuaca buruk, atau bencana alam lainnya. 

Dengan demikian, mereka dapat meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul akibat fluktuasi kondisi ekonomi global.