Sebuah Roket yang Diluncurkan dari Jalur Gaza
Dunia

Dampak Konflik Israel Vs Hamas Terhadap Ekonomi Global

  • Konflik Timur Tengah antara Israel dan Palestina yang terus berlanjut menimbulkan kekhawatiran baru terhadap ekonomi global—yang masih dihantui ketidakpastian.

Dunia

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Israel meluncurkan serangan ke wilayah Gaza Palestina pada Minggu, 8 Oktober 2023, sebagai balasan terhadap salah satu serangan paling mematikan dalam sejarahnya. Serangan tersebut terjadi setelah kelompok Islam Hamas menewaskan 700 warga Israel dan menculik puluhan lainnya pada Sabtu, 7 Oktober 2023. 

Serangan Hamas ini merupakan yang paling parah sejak serangan Mesir dan Suriah dalam Perang Yom Kippur 50 tahun yang lalu. Insiden itu mengancam memperpanjang konflik yang telah berlangsung lama.

Israel kemudian meluncurkan serangan udara yang menyasar blok perumahan, terowongan, masjid, dan rumah pejabat Hamas di Gaza. Serangan ini mengakibatkan lebih dari 400 kematian, termasuk 20 anak-anak. Itu sesuai janji Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk melakukan ‘pembalasan yang dahsyat.’

Menteri Pertahanan Yoav Gallant di kota Ofakim, yang juga mengalami korban dan penyanderaan, mengatakan jalur Gaza akan membayar harga yang sangat berat yang akan berdampak selama beberapa generasi.

Konflik Timur Tengah antara Israel dan Palestina yang terus berlanjut menimbulkan kekhawatiran baru terhadap ekonomi global—yang masih dihantui ketidakpastian. Namun dampak konflik tersebut terhadap ekonomi mungkin perlu waktu untuk terlihat jelas. 

Hal itu tergantung pada durasi, intensitas, serta apakah konflik dapat menyebar ke wilayah lain di kawasan tersebut. “Masih terlalu dini untuk mengatakan dampaknya, meskipun pasar minyak dan ekuitas mungkin akan merasakan dampak langsung,” ungkap Agustin Carstens, manajer umum di Bank for International Settlements, seperti yang dikutip dari US News, Selasa, 10 Oktober 2023.

Namun, para ekonom menyoroti bahwa konflik ini bisa menambah ketidakpastian yang sulit diprediksi terhadap perekonomian global yang telah mengalami perlambatan. Pasar Amerika Serikat (AS) sendiri masih beradaptasi dengan kemungkinan Federal Reserve akan menjaga suku bunga tinggi dalam periode yang lebih lama.

“Ketidakpastian ekonomi apa pun akan menghambat proses pengambilan keputusan, meningkatkan biaya risiko, terutama mengingat wilayah tersebut. Ada kekhawatiran tentang di mana sumber minyak akan dibuka,” ungkap Carl Tannenbaum, kepala ekonom di Northern Trust.

“Pasar juga akan mengikuti perkembangan yang sedang berlangsung. Pertanyaannya adalah, apakah pengulangan akan mengubah keseimbangan jangka panjang menjadi tidak seimbang?” katanya.

Tekanan Inflasi

Isu tersebut beserta masalah-masalah terkait, diperkirakan akan menjadi fokus utama para pemimpin keuangan global yang akan berkumpul di Maroko dalam pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. 

Mereka akan membahas situasi perekonomian global yang tetap tidak stabil akibat pandemi dan ketegangan perdagangan yang meningkat. Bagi bank sentral, situasi ini menghadirkan dilema tentang apakah ini akan memicu tekanan inflasi baru. 

Ini disebabkan fakta bahwa wilayah ini bukan hanya menjadi tempat bagi produsen minyak besar seperti Iran dan Arab Saudi, tetapi juga merupakan jalur pelayaran utama melalui Teluk Suez.

Pejabat Federal Reserve telah mengidentifikasi kenaikan harga energi baru-baru ini sebagai potensi risiko terhadap prospek penurunan inflasi secara bertahap. Mereka juga mengungkapkan keyakinan bahwa perekonomian AS mungkin akan tetap tahan terhadap resesi, kecuali ada gangguan tak terduga dari luar.

Dengan konflik yang sedang berlangsung di wilayah produsen minyak utama, pasar akan dengan cermat memantau respons dari pedagang dan pemain besar seperti Iran dan Arab Saudi, untuk melihat apakah akan ada peningkatan harga minyak. Sementara itu, pasar obligasi dan saham dalam beberapa hari ke depan akan bersiap menghadapi potensi dampak yang mungkin terjadi.

Pejabat The Fed memantau peningkatan imbal hasil obligasi Treasury AS baru-baru ini, mencari tanda-tanda bahwa investor bisa memengaruhi kondisi keuangan lebih dari yang diperlukan untuk mengatasi inflasi dan meningkatkan risiko perlambatan ekonomi yang berlebihan.

Perang Israel-Hamas meningkatkan kekhawatiran terhadap ekonomi global dan bisa memicu aliran modal ke obligasi Treasury AS yang dianggap lebih aman, terutama dalam situasi potensi krisis. 

Meskipun penurunan suku bunga pasar bisa menjadi pemicu inflasi di masa lain, dalam konteks saat ini, fokus lebih pada risiko yang muncul akibat perang regional baru terhadap perekonomian.

Harga Minyak Bisa Tak Terkendali

Harga minyak dunia melonjak 4% pada hari ketiga konflik Israel-Hamas setelah Israel melakukan serangan mendadak terhadap kelompok militan Palestina tersebut. Harga minyak Brent berjangka diperdagangkan 4,53% lebih tinggi, mencapai US$88,41 per barel pada hari Senin. 

Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate AS naik 4,69%, mencapai US$88,67 per barel. Meskipun terjadi peningkatan harga minyak mentah, para analis meyakini bahwa ini mungkin hanya bersifat spontan dan tidak akan berlangsung lama.

“Untuk konflik ini memiliki dampak yang berkelanjutan pada pasar minyak, perlu ada penurunan pasokan atau gangguan transportasi minyak yang berlangsung secara berkelanjutan,” kata Vivek Dhar, direktur penelitian komoditas pertambangan dan energi di Commonwealth Bank.

“Jika tidak, seperti yang sudah terbukti dalam sejarah, peningkatan harga minyak biasanya bersifat sementara dan bisa terpengaruh oleh faktor-faktor pasar lainnya,” catat Dhar dalam analisisnya.

Israel sendiri memiliki dua kilang minyak dengan kapasitas gabungan hampir 300.000 barel per hari. Menurut Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), produksi minyak mentah dan kondensat di negara ini hampir tidak ada. Situasi serupa terjadi di wilayah Palestina yang juga tidak memiliki produksi minyak, sesuai dengan data dari EIA.

“Ada juga potensi risiko konflik ini meluas ke wilayah regional. Jika Iran terlibat, masalah pasokan mungkin akan muncul, meskipun saat ini belum mencapai tahap tersebut,” kata Henning Gloystein, Direktur Energi, Iklim, dan Sumber Daya di Eurasia Group.

Dengan 40% dari seluruh ekspor minyak dunia melewati Selat Hormuz, Bob McNally, Presiden Rapidan Energy Group, memperkirakan konflik antara Israel dan Iran dapat dengan mudah menyebabkan kenaikan harga minyak sekitar US$5 hingga US$10. Selat ini dianggap sebagai salah satu jalur transit minyak paling penting di dunia, terletak antara Oman dan Iran.