Dampak Tak Terukur, Kadin Minta Kebijakan Harga Gas US$6 per MMBTU Dievaluasi
Setelah lebih dari setahun diberlakukan oleh pemerintah, kebijakan harga gas US$6 per MMBTU (Million British Thermal Unit) kepada tujuh industri tertentu dinilai belum memberikan dampak yang signifikan.
Industri
JAKARTA – Setelah lebih dari setahun diberlakukan oleh pemerintah, kebijakan harga gas US$6 per MMBTU (Million British Thermal Unit) kepada tujuh industri tertentu dinilai belum memberikan dampak yang signifikan.
“Ini sudah setahun, apa yang dikerjakan, mana hasilnya? Kita harus ekspansi, kalau enggak kita balik lagi jalani business as usual,” ujar Wakil Komite Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Achmad Widjaja, Rabu 9 Juni 2021.
Kebijakan harga gas sebesar US$6 per MMBTU tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- Tandingi Telkomsel dan Indosat, Smartfren Segera Luncurkan Jaringan 5G
- Bangga! 4,8 Ton Produk Tempe Olahan UKM Indonesia Dinikmati Masyarakat Jepang
Perpres tersebut kemudian diturunkan dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Adapun aturan teknisnya dituangkan dalam Kepmen ESDM Nomor 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Dalam Kepmen 89 ESDM itu disebutkan tujuh sektor industri yang memperoleh gas dengan harga khusus USD6 per MMBTU yakni Industri Pupuk, Petrokimia, Oleokimia, Baja, Keramik, Kaca dan Industri Sarung Tangan Karet. Berdasarkan aturan itu, skema harga ini berlangsung dari 2020 sampai 2024.
Menurut Achmad, sudah lebih dari satu tahun kebijakan harga gas US$6 per MMBTU dijalankan, namun belum terlihat ketujuh industri itu melakukan inovasi, meningkatkan daya saing, dan memberikan multiplier effect seperti yang diharapkan.
Segera Dievaluasi
Ia bilang, evaluasi ini perlu dilakukan sesegera mungkin, dan tidak perlu menunggu sampai tahun 2024. Pasalnya, jika kebijakan ini diberlakukan terlalu lama tanpa memberi dampak ekonomi yang sepadan, maka negara akan semakin dirugikan. Maklum, dengan penetapan harga US$6 per MMBTU pendapatan pemerintah dari penjualan gas menurun drastis.
Untuk mengurangi potensi kerugian negara, Achmad meminta Kementerian ESDM mengawasi industri-industri mana saja yang sudah memanfaatkan fasilitas gas murah tersebut, dan mana yang belum. Sekaligus memastikan bahwa penyerapannya optimal dan merata, terhadap tujuh sektor industri yang termaksud dalam aturan.
“Menteri Perindustrian harus tagih ke para industriawan, mana programnya untuk inovasi dan daya saing,” kata Achmad.
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
- Pemberdayaan Perempuan di Perusahaan Jepang Masih Alami Krisis Pada Tahun 2021
Selain Kementerian Perindustrian, stakeholder terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan juga perlu duduk bersama dan melakukan evaluasi terhadap regulasi harga gas industri ini.
Hal ini untuk membuktikan apakah dampak yang diharapkan sudah sesuai atau sebaliknya. Sebab penentuan harga gas ini terkait dengan pengembangan industri dan pendapatan negara sehingga perlu dibahas bersama.
Pengamat Energi Mamit Setiawan sependapat dengan Kadin. Bagi dia, harga gas untuk industri tertentu yang akan diberlakukan sampai 2024 harus segera dievaluasi.
“Saya tidak melihat ada multiplier effect dari kebijakan harga gas ini. Yang terjadi justru beban yang ditanggung badan usaha menjadi semakin besar,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah, Kamis 10 Juni 2021.
Mamit menambahkan, untuk mengukur dampak dari kebijakan tarif ini sebenarnya mudah. Hal itu dapat diukur dari kinerja produk ketujuh industri yang mendapat perlakuan khusus tersebut.
Misalnya penjualannya apakah meningkat, pendapatannya apakah meningkat, termasuk di dalamnya serapan tenaga kerja baru dan dampaknya terhadap pembayaran pajak kepada negara.
“Sehingga pemerintah perlu menagih kepada tujuh industri ini apakah target yang diinginkan pemerintah sudah tercapai atau belum. Apalagi kabarnya kebijakan ini bakal di perluas ke industri lain. Jika itu terjadi akan sangat merugikan negara, karena dampak dari kebijakan sebelumnya saja tidak jelas hasilnya,” tegasnya. (SKO)