<p>Maskapai penerbangan   Garuda Indonesia tampak terparkir di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Dana Talangan Garuda dan Krakatau Steel Agar Tak Seman, Masih Sebatas Angan

  • Hingga akhir kuartal III-2020, dua perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) belum juga mendapat dana talangan dari pemerintah sebesar Rp11,5 triliun seperti yang dijanjikan.

Industri
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Dua bulan berlalu setelah rapat Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama sejumlah perusahaan pelat merah digelar pada 15 Juli lalu. Hasil rapat itu memutuskan bahwa dua perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) bakal mendapat dana talangan dari pemerintah sebesar Rp11,5 triliun.

Kala itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima mengatakan, penyertaan modal negara (PMN) ini akan dibagikan masing-masing kepada emiten pelat merah bersandi saham GIAA sebesar Rp8,5 triliun dan KRAS Rp3 triliun.

Skema pencairan dana ini bakal dilakukan dengan skema obligasi wajib konversi (OWK) atau mandatory convertible bond (MCB). Untuk Garuda Indonesia, jatuh tempo OWK-nya ditargetkan hanya 3 tahun. Sedangkan untuk Krakatau Steel, jatuh temponya bakal sampai 7 tahun.

“Kalau Garuda Indonesia ‘kan sama seperti Krakatau Steel ini sama-sama ada saham publiknya. Jadi untuk Garuda Indonesia kita tetapkan menggunakan MCB,” ungkap Aria dalam rapat itu.

Nantinya, pemerintah bakal menempatkan dana tersebut di PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI. Nah, dari perusahaan inilah nantinya dana talangan itu dapat dicairkan ke Garuda Indonesia dan Krakatau Steel.

Meski begitu, skema terkait pencairan dana ini masih belum final. Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan, masih ada beberapa pilihan lain untuk skema pencairan dana tersebut. Bisa dengan cara PMN, investasi dari pemerintah, atau pemberian jaminan.

“Jadi itu step loan dan ini belum final. Masih proses. Harapannya BUMN di bawah Kementerian BUMN dan BUMN di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bisa dilakukan business to business (B2B),” kata pria yang akrab disapa Tiko itu.

Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan apresiasi kepada pekerja KAI dan KCI di kantor Kementrian BUMN, Jakarta, Senin, 13 Juli 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Pingpong Aturan

Selang sebulan kemudian, tepatnya 30 Agustus 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meneken keputusan terkait skema pencairan dana tersebut. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.06/2020, ditetapkanlah beberapa skema pencairan dana bagi dua perusahaan pelat merah ini.

Beleid itu menyebutkan bahwa sumber dana investasi pemerintah akan berasal dari APBN dan bakal dicairkan dalam bentuk surat utang maupun investasi langsung. Untuk investasi langsung, pinjaman akan dicairkan pemerintah kepada BUMN dengan atau tanpa hak konversi dan/atau hak ekuitas lainnya.

Sedangkan untuk skema surat utang bakal diterbitkan oleh penerima investasi yang tercatat maupun yang tidak terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Surat utang juga dapat diterbitkan dengan hak konversi saham atau MCB.

Syaratnya, penerbitan surat utang dengan hak konversi ini wajib memenuhi ketentuan mengenai penerbitan utang yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan.

Terakhir, dana talangan untuk kedua perusahaan pelat merah ini kabarnya akan segera dicairkan oleh pemerintah. Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Racmatawarta mengatakan, dana ini akan disalurkan usai ada payung hukum yang melindungi atas skema pencairannya.

Tujuan dari pencairan dana ini adalah untuk memberikan bantuan kepada perusahaan pelat merah yang bisnisnya tengah mengalami tekanan akibat pandemi COVID-19. Diharapkan, dana bantuan itu mampu membantu mereka untuk bisa tetap menjalankan operasionalnya.

“Kita memberikan ini karena penerimaan mereka anjlok. Sehingga bisa menjalankan tugas-tugas mereka, menjalankan peran sebagai perusahaan negara yang melayani publik,” terang Isa dalam konferensi pers DJKN beberapa waktu lalu.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Irfan Setiaputra. / Facebook @irfan.setiaputra

Kantong Kering

Isa benar. Kinerja kedua perusahaan pelat merah ini memang sekarang sedang lesu-lesunya. Garuda Indonesia misalnya. Pada semester I-2020, maskapai penerbangan milik negara ini harus menangguk rugi bersih US$712,72 juta atau setara Rp10,47 triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu perseroan masih bisa membukukan laba bersih US$24,11 juta.

Kerugian Garuda banyak disumbang oleh pendapatan perseoran yang anjlok 58,18% menjadi hanya US$917,28 juta dari sebelumnya US$2,19 miliar pada periode sama tahun lalu. Pendapatan dari penerbangan berjadwal Garuda Indonesia juga terdepresiasi menjadi hanya US$750,25 juta. Pos itu terjerembab 59,55% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$1,85 miliar.

Sedang dari pendapatan lainnya, perseroan hanya mampu membukukan US145,47 juta. Terkoreksi 56,45% dari pendapatan tahun lalu yang mencapai US$334,06 juta.

Sebab itu, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra pun mengaku amat menantikan dana talangan dari pemerintah untuk perusahaan yang dipimpinnya. Dana itu, sambung dia, bakal digunakan untuk menghidupkan operasional perusahaan yang kini tengah terseok-seok lantaran adanya pandemi.

Namun hingga kini, Irfan mengaku bahwa proses pencairan dana itu masih dalam proses klasifikasi oleh pihak pemerintah. Dalam kata lain, belum ada kepastian apakah dana tersebut bakal cair dalam waktu dekat ini.

“Kita mungkin akan dapat US$600 juta dana talangan dari pemerintah Indonesia. Klasifikasinya masih Insya Allah, belum Alhamdulillah,” kata dia dalam diskusi virtual bulan lalu.

Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim saat berbincang dalam program Podcast OmFin Channel di Kantor Redaksi TrenAsia.com / Dok. TrenAsia.com

Segunung Utang

Setali tiga uang dengan Irfan. Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim juga mengaku amat menanti-nanti datangnya dana segar dari pemerintah tersebut. Dana itu, sambung Silmy, bakal digunakan perseroan untuk memberikan relaksasi bagi pasar baja dari sisi hilir.

Tujuannya, semata-mata untuk menggairahkan pasar baja yang sebagian bahan bakunya bergantung pada produksi KRAS. Sehingga dengan begitu, permintaan baja di KRAS pun akan terkerak naik seiring meningkatnya permintaan.

“Kita lebih ke supaya relaksasi industri-industri pengguna hilir baja ini bisa tetap beroperasi. Kalau mereka mati, terus siapa yang beli produk KS (Krakatau Steel)?” terang Silmy kepada TrenAsia.com beberapa waktu lalu.

Namun sebelum dana tersebut cair, tidak ada cara lain bagi KRAS untuk mempertahankan likuiditas perusahaannya kecuali melakukan efisiensi. Salah satu upaya yang dilakukan KRAS adalah dengan menekan biaya operasional yang tadinya sekitar US$30 juta-US$35 juta per bulan menjadi hanya US$25 juta tiap bulan.

Upaya ini dilakukan KRAS dengan cara menutup beberapa pabrik perseroan yang dinilai tidak terlalu efektif dan cenderung memberatkan. Selain itu, KRAS juga berupaya merestrukturisasi utang supaya kas perseroan bisa bertahan dalam jangka waktu lebih panjang.

“Perusahaan itu sedang mengalami permasalahan kerugian sehingga ketika kita bedah itu ada beberapa hal yang kita lakukan supaya kas itu bisa turun,” kata dia.

Rasio Utang

Bukan apa-apa. Meski KRAS baru saja mendulang keuntungan setelah 8 tahun merugi. Tetapi sebetulnya, utang perusahaan tambang ini sudah menggunung dan jauh dari batas rasio utang atau debt to equity ratio (DER) yang sehat.

Memang pada semester I-2020, KRAS berhasil membukukan senilai US$4,67 juta. Tetapi total utang KRAS jauh lebih besar dari keuntungannya. Tecatat hingga Juni 2020, KRAS sudah menanggung utang senilai US$2,06 miliar atau setara Rp29,46 triliun.

Utang itu terdiri dari pinjaman jangka pendek sebesar US$179,87 juta. Utang jatuh tempo dalam setahun senilai US63,88 juta. Plus, utang jangka panjang US$1,81 miliar.

Sedangkan pada saat bersamaan, total ekuitas perseoran hanya ada di angka US$471,33 juta. Jika dihitung secara proporsional dengan pembagian nilai kas dan jumlah utang, maka tingkat DER perseroan kini sudah mencapai 4,37 kali. Secara akademis, DER yang lebih dari 400% atau 4 kali lipat itu sudah masuk kategori tidak aman. (SKO)

Menteri BUMN Erick Thohir dan Wamen BUMN Kartika Widjoatmodjo serta Budi Gunadi Sadikin / Dok. Kementerian BUMN

Rincian Penyertaan Modal Negara (PMN):

  1. PT Hutama Karya (Persero): Rp7,5 triliun
  2. PT Permodalan Nasional Madani (Persero): Rp1,5 triliun
  3. PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau ITDC: Rp500 miliar
  4. PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau BPUI: Rp6 triliun
  5. Holding PT Perkebunan Nusantara (Persero): Rp4 triliun
  6. Perusahaan Umum Perumnas: Rp650 miliar
  7. PT Kereta Api Indonesia (Persero): Rp3,5 triliun

Rincian Dana Talangan atau Investasi Pemerintah:

  1. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA): Rp8,5 triliun
  2. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS): Rp3 triliun

Rincian Pembayaran Utang Negara kepada BUMN:

  1. PT Hutama Karya (Persero): Rp1,88 triliun
  2. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA): Rp59,91 miliar
  3. PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT): Rp8,94 triliun
  4. PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR): Rp5,02 triliun
  5. PT Kereta Api Indonesia (Persero): Rp257,8 miliar
  6. Holding PT Pupuk Indonesia (Persero): Rp5,75 triliun
  7. Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog): Rp566,3 miliar
  8. Holding PT Pertamina (Persero): Rp45 triliun
  9. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN: Rp48,46 triliun