logo
Ilustrasi Danantara.
BUMN

Danantara Jangan jadi Beban Baru Negara

  • Kehadiran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) diwanti-wanti jangan sampai menjadi beban negara di masa depan. Pakar mulai mencium adanya potensi risiko tinggi dari lembaga superholding ini.

BUMN

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Kehadiran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) diwanti-wanti jangan sampai menjadi beban negara di masa depan. Pakar mulai mencium adanya potensi risiko tinggi dari lembaga superholding ini. 

Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, menyoroti keberadaan Danantara yang bakal disuntik dana minimal Rp1.000 triliun untuk berinvestasi dalam berbagai infrastruktur strategis. Salah satu kekhawatiran utamanya yakni soal profesionalisme pengelolaan Danantara. Diketahui, pengelolaan BUMN selama ini saja masih kental dengan permasalahan. 

“Beberapa BUMN besar seperti Garuda dan Jiwasraya saja mengalami kesulitan finansial cukup parah. Belum lagi BUMN asuransi Bumiputera yang menggambarkan bagaimana pengelolaan yang tidak hati-hati dapat merugikan negara dan masyarakat,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada TrenAsia.com, Kamis, 13 Agustus 2025.   

Anton menilai Danantara berpotensi menambah beban pemerintah dan masyarakat jika tidak berhati-hati dalam mengelola proyek, atau jika dana yang diinvestasikan terlalu berisiko. 

“Penting bagi pemerintah untuk melakukan kajian mendalam mengenai kelayakan setiap proyek yang akan dibiayai, memastikan bahwa proyek tersebut memiliki potensi pengembalian yang memadai,” kata dia. 

Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan. (UMS)

Di sisi lain, Danantara diharapkan dapat menjadi alternatif pembiayaan bagi proyek-proyek pemerintah yang tidak dapat didanai APBN. Hal itu mengingat keterbatasan penerimaan pajak yang terus melambat. Lembaga ini diharapkan dapat membantu mendanai proyek infrastruktur yang sudah lama tertunda.

“Tentu saja, semua pihak ingin melihat apakah Danantara akan mampu mengelola dana sebesar itu secara profesional, dengan pendekatan yang transparan dan berdasarkan analisis yang matang terhadap setiap proyek. Sebab jika pengelolaannya tidak tepat, lembaga ini justru bisa menjadi BUMN baru yang menghadapi masalah serupa dengan yang terjadi pada Garuda, Jiwasraya, atau Bumiputera.”

Selain masalah teknis pengelolaan, faktor politik di balik pembentukan dan pengelolaan Danantara tidak bisa diabaikan. Anton menilai keberadaan Danantara tidak terlepas dari campur tangan politik. Di Indonesia, banyak BUMN yang terpengaruh politik dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam pemilihan jajaran direksi dan pengelolaannya. 

“Hal ini sering kali berdampak negatif pada kinerja perusahaan, sehingga Indonesia sulit untuk memiliki BUMN yang mampu bersaing secara global, seperti halnya Temasek di Singapura atau Petronas di Malaysia. Meskipun terdapat banyak kekhawatiran, kita juga harus mengakui pengelolaan BUMN yang profesional dapat berkontribusi besar pada perekonomian Indonesia,” terang Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) UMS itu.

Jika Danantara bisa dikelola dengan baik, Anton menyebut lembaga itu memiliki potensi mendatangkan keuntungan dan membantu membiayai pembangunan infrastruktur, tanpa harus sepenuhnya bergantung pada APBN atau pajak rakyat. ”Yang jelas, pengelolaan yang hati-hati dan transparan menjadi kunci utama agar lembaga ini dapat memberikan manfaat maksimal bagi negara dan masyarakat,” ujar Anton.

Baca Juga: RUU BUMN Usulkan Modal Awal Danantara Rp1.000 Triliun, Ini 11 Perubahan Lainnya

Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) turut menyoroti pembentukan Danantara yang dinilai rawan tumpang tinding kewenangan dengan Kementerian BUMN. Sekretaris Nasional (Seknas) Fitra, Gulfino, mengatakan Danantara idealnya dapat mengakselerasi kinerja BUMN untuk lebih menghasilkan dividen bagi negara. 

Namun di sisi lain, terdapat kewenangan Danantara yang rentan tumpang tindih dengan kewenangan Kementerian BUMN. “Superholding ini berpotensi mendapatkan hadangan dari oligarki yang menikmati status quo kondisi BUMN yang nyaris tidak berkinerja dengan maksimal,” kata dia.

Gulfino menjelaskan dalam UU BUMN, ada pengaturan kekayaan BUMN yang dipisahkan dari kekayaan negara untuk memudahkan aksi korporasi. Catatan Fitra, pada tahun 2024, setidaknya Rp27,4 triliun digelontorkan negara untuk PMN bagi BUMN. 

Fitra menilai pemisahan kekayaan BUMN untuk mempermudah aksi korporasi merupakan hal yang lumrah. Namun hal ini juga bisa menjadi bola liar apabila tidak ada batasan yang jelas terkait aksi korporasi.

“Alih-alih mendapatkan manfaat, malah menimbulkan kerugian negara yang terindikasi tindakan korupsi. Hal ini seringkali terjadi, sulit melihat kejernihan dalam aksi korporasi yang mana BUMN tersebut diisi oleh aktor-aktor politik bagian dari balas jasa politik,” bebernya.