Nampak aktifitas sejumlah pedagang kaki lima (PKL) berjualan di kawasan wisata kuliner Pasar Lama ,Kota Tangerang, Banten. Senin 27 September 2021. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Kolom

Dari Pengabaian Konstitusi hingga Anggaran Pendidikan yang Tak Sesuai Peruntukan

  • Akar persoalan dari masalah PKL adalah sikap abai pemerintah terhadap Pasal 27 ayat (2) UUD 45 hingga anggaran pendidikan yang dikebiri.

Kolom

Andi Reza Rohadian

Pedagang kaki lima di kawasan Malioboro sedang cemas. Sejak Sabtu (13/7) pekan lalu para pedagang yang sudah dua tahun ini direlokasi ke eks gedung Bioskop Indra dan eks kantor Dinas Pariwisata, menunggu kejelasan akan nasibnya.  

Rupanya pendapatan mereka di tempat baru tak sebaik di kawasan pedestrian Malioboro nan tersohor itu. Berupaya mendapatkan penghasilan seperti sebelumnya, pada hari Jumat (12/7) mereka yang saat ini menempati lokasi menjorok ke dalam lantas membawa dagangannya ke selasar pedestrian. Jitu. Dagangan mereka laris manis diborong wisatawan yang berjalan-jalan di Malioboro.

Melihat respons positif wisatawan, aksi berjualan di lokasi strategis itu coba diulangi lagi pada esok harinya. Tapi upaya mereka dihadang oleh  petugas yang dibawa Unit Pelaksana Tugas (UPT) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya (PKCB) Kota Yogyakarta. Petugas langsung menutup pagar Teras Malioboro 2 mulai pukul 18.00 sehingga pedagang tak bisa keluar.

Mereka pun menggelar demonstrasi menolak penutupan pagar itu sembari menyerukan yel yel 'PKL Bersatu, Kembali ke Selasar'.

Protes pedagang itu akumulasi kekecewaan terkait rencana relokasi pada 2025. Lokasi baru yang disiapkan pemerintah adalah di Kampung Beskalan dan Ketandan. Dua lokasi ini sebenarnya masih di sekitar Jalan Malioboro, tapi lebih ke dalam.

Pedagang yang berjumlah 1.041 mengaku penetapan lokasi baru dilakukan secara sepihak. Mereka kawatir, meski menghabiskan dana Rp69 miliar lokasi baru yang tak strategis akan berdampak pada pendapatan yang turun drastis.

Sebelumnya relokasi juga dialami ratusan pedagang di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Sejak Juni silam warung-warung mereka dibongkar. Tak sedikit yang menolak pembongkaran. Bentrok pun tak terhindarkan. Seorang aparat terluka.

Sebagai gantinya pemerintah menyediakan kawasan rest area Gunung Mas. Janji pemerintah, pedagang dibebaskan dari pembayaran retribusi selama enam bulan.

PKL seolah sudah menyatu dengan kota besar dan destinasi wisata. Persoalannya pun tak ada bedanya dengan di Yogyakarta dan Puncak. Mereka memilih menggelar dagangannya di tengah keramaian.

Bagi sebagian masyarakat keberadaan mereka memang mengganggu. Selain tak sedap dipandang, para pedagang kerap membuang sampah sembarangan. Belum lagi dengan pedagang yang berjualan di bahu jalan, niscaya mengundang kemacetan.   

Kendati begitu keberadaan mereka tak bisa dinafikan. Andai saja pemerintah sepenuh hati menjalankan amanat konstitusi, semestinya jumlah PKL dapat dipangkas. Pasal 27 ayat 2 UUD 45 berbunyi: "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan."

Pekerja di Sektor Informal Capai 59,11 Persen

Nyatanya, warga negara yang terserap di lapangan kerja sektor formal menurut data Badan Pusat Statistik, per Agustus 2023, hanya mencapai 40,89 persen. Selebihnya bekerja di sektor informal, salah satunya, ya PKL.

Lebih banyaknya pekerja di sektor informal yang mencapai 59,11 persen seharusnya menjadi perhatian pemerintah.  Pasti ada yang salah dengan kebijakan di bidang investasi yang selama ini digenjot oleh Kementerian Investasi/BKPM. Begitu pula dengan kebijakan yang diberlakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek).  

Sejak dikomandoi oleh Bahlil Lahadalia, Kementerian Investasi/BKPM selalu mencatat rekor baru pencapaian investasi. Tahun lalu pemerintah sukses mengantungi penanaman modal Rp1.418,9 triliun. Naik Rp500 triliun dari dua tahun sebelumnya.

Toh pencapaian itu tak sebanding dengan penyerapan tenaga kerja. Jika di periode 2009 hingga 2014 lapangan kerja di sektor formal menyerap 15,6 juta orang, di periode lima tahun berikutnya merosot menjadi 8,5 juta orang. Angka itu kembali turun pada periode 2019-2024 menjadi 2 juta orang saja.

Sudah saatnya Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) melakukan kajian ulang untuk memadupadankan sektor industri, pendidikan dan lapangan kerja. Ini penting, mengingat tingkat pengangguran terbuka tamatan SMK merupakan yang paling tinggi dibanding tamatan jenjang pendidikan lainnya, yakni 8,6% (Data BPS Februari 2023). Banyaknya lulusan SMK yang menganggur, salah satunya adanya ketidakselarasan antara kompetensi lulusan SMK dengan kebutuhan industri/dunia kerja.  

Anggaran Pendidikan Tak Sesuai Peruntukan

Kontribusi bidang pendidikan untuk membenahi penyerapan tenaga kerja juga memegang peran penting. Tingginya uang kuliah tunggal (UKT) yang hari-hari ini menjadi buah bibir menunjukkan minimnya perhatian pemerintah pada pengembangan pendidikan tinggi di Tanah Air.

Meski menyandang status penerima anggaran belanja negara terbesar, yakni Rp665 triliun (20 persen dari APBN), nyatanya Kemdikbudristek hanya mendapat total anggaran Rp98,98 triliun atau 15 persen. Porsi terbesar justru dialokasikan untuk transfer ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Ada juga dana yang diperuntukkan bagi Kementerian/Lembaga lain, mencapai Rp142,4 triliun atau 21 persen dari total anggaran pendidikan.

Mengacu pada data itu tak heran jika tempo hari mahasiswa di pelbagai daerah melakukan aksi protes terhadap kenaikan UKT. Padahal kalau alokasi dana pendidikan sesuai dengan peruntukannya UKT pasti bisa ditekan serendah mungkin. Jika UKT terjangkau, akses masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi terbuka lebar. Ujung-ujungnya kualitas tenaga kerja juga meningkat.

Seiring meningkatnya kualitas tenaga kerja, peluang para sarjana membuka wirausaha menjadi lebih terbuka. Tentu saja angka pekerja di sektor formal akan jauh lebih baik ketimbang sektor informal.

Jangan lupa, selama ini pemerintah selalu membanggakan adanya bonus demografi di Indonesia. Tapi tanpa upaya serius membenani lapangan kerja dan pendidikan bisa-bisa bonus itu hanya menjadi isapan jempol. Apa lagi Ketua BKKBN Hasto Wardoyo sudah mengingatkan puncak bonus demografi yang jatuh pada tahun 2035 sebenarnya sudah terlewati pada tahun 2020. Artinya jumlah usia kerja saat ini sudah berkurang, usia lansia meningkat.

Jangan sampai harapan pemerintah menggapai Indonesia Emas yang bertepatan dengan 100 tahun Kemerdekaan RI berubah menjadi kecemasan.