Dari Presiden ke Presiden: Janji Tinggal Janji
- Presiden Prabowo Subianto optimistis perekonomian RI dapat menggapai pertumbuhan 8 persen. 10 tahun silam Jokowi juga yakin, pertumbuhan ekonomi 7 persen tak terlalu sulit dicapai. Nyatanya hanya 5 persen yang tercapai, diiringi utang yang tak mampu mendongkrak pertumbuhan.
Kolom
Tak ada bulan madu bagi Presiden Prabowo Subianto yang baru dilantik, Minggu, 20 Oktober lalu. Maklum, beban yang ditinggalkan Joko Widodo (Jokowi), pendahulunya, sangat sarat. Utang pemerintah hingga akhir semester I sudah menyentuh Rp8.338,3 triliun. Ini membengkak tiga kali lipat dari akhir 2014 yang mencapai Rp2.608 triliun.
Angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga meningkat pesat. Sepanjang Januari-Agustus jumlah PHK naik 23,7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Lebih dari separuhnya menimpa sektor manufaktur.
Ini tak seiring dengan derasnya arus investasi. Selama Jokowi berkuasa investasi yang masuk mencapai Rp9.117 triliun. Penyebabnya, investasi itu lebih banyak di bidang pengelolaan sumber daya alam yang padat modal. Alhasil, jika di tahun 2014 investasi senilai Rp1 triliun bisa menyerap 3.090 tenaga kerja, sedangkan sepanjang 2024 nilai investasi sebesar itu hanya dapat menampung 1.490 tenaga kerja.
Tak heran jika pertumbuhan ekonomi di sepanjang pemerintahan Jokowi hanya berkisar 5 persen. Nah, di tengah angka-angka perekonomian yang tak bersahabat itu, Prabowo sejak dari masa kampanye mengungkapkan keyakinannya untuk meraih pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Bahkan, ia meyakini angka tersebut bisa tercapai hanya dalam kurun waktu 2-3 tahun ke depan. Untuk mencapainya, ia mengaku sudah diskusi dengan para pakar ekonomi dan menghitung semua kemungkinan untuk genjot perekonomian Indonesia. "Saya yakin kita dapat dengan mudah mencapai 8%. Malah saya bertekad melampauinya," ungkapnya dalam berbagai kesempatan.
Ada pun jalan untuk mencapai angka itu, mantan komandan jenderal pasukan khusus telah menyiapkan sejumlah jurus. Salah satunya yang paling terkenal adalah program makan bergizi gratis. Menurut kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahwa program itu berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Program ini diyakini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena menyerap produk-produk masyarakat lokal, yang pada akhirnya memicu permintaan agregat.
Makan Siang Gratis Berkontribusi 3% pada Pertumbuhan Ekonomi?
Berdasarkan gagasan Prabowo, makan siang gratis akan diberikan kepada semua pelajar di Indonesia hingga ibu hamil. Ia merujuk ke Studi Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) UN World Food Programme (WFP). Studi itu menunjukkan dari setiap US$ 1 (US$1= Rp 15.630), program tersebut bisa mendongkrak dampak ekonomi sebesar US$ 9 (Rp 140.670). Anggaran US$1 digunakan untuk pengadaan bahan baku makanan, jalur logistik dan penyimpanan, serta penguatan komunitas.
Dalam hitungan tim Prabowo, program Makan Siang Gratis di Sekolah juga mampu menciptakan 1,8 juta lapangan kerja. Hitungan tersebut mempertimbangkan ada 377.000 dapur yang digunakan untuk menyiapkan Makan Siang Gratis di Sekolah. Di setiap titik makan siang, dan setiap dapur dilayani lima pekerja.
Hitungan tim Prabowo memperkirakan anggaran program ini akan menghabiskan dana sekitar US$ 30 miliar (Rp 468,9 triliun). Anggaran tersebut dengan mempertimbangkan asumsi Indeks $ 1 per makan seperti yang disampaikan UN WFP.
Anggaran sebesar US$ 30 miliar diyakini bisa menghasilkan multiplier ekonomi 1,5 kali dan memberi tambahan dampak pertumbuhan ekonomi sekitar 3%.
Guna menunjang program andalannya Prabowo juga akan fokus pada hilirisasi industri prioritas, dari tambang, agribisnis, sumber daya laut dan industri kreatif. Selain itu, putra begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo akan menaikkan gaji Apatratur Sipil Negara, TNI/Polri dan pejabat negara, diikuti perbaikan tata kelola utang negara, menaikkan anggaran dana desa, swasembada pangan, swasembada BBM hingga pengucuran kredit startup bagi anak muda.
Sangat menantang, memang. Sekadar mengingatkan, saat menjabat Menteri Pertahanan Prabowo pernah menggelar program ketahanan pangan. Program bertajuk keren food estate itu menggarap lahan puluhan ribu hektar di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Sejauh ini tidak ada kabar menggembirakan dari program yang dimulai tahun 2020 itu.
Lebih Mudah Mengucapkan daripada Mencapainya
Bicara janji, dulu Jokowi juga mengumbar janji-janji yang sangat manis. Kita masih ingat waktu kampanye 2014 mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI mengumbar janji pertumbuhan ekonomi 7 persen. Bahkan ia sesumbar,”untuk meraih pertumbuhan tujuh persen tidak terlalu sulit.”
Nyatanya untuk meraih angka pertumbuhan setinggi itui lebih gampang diucapkan daripada mencapainya.
Jokowi mengawali kepemimpinannya dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,79 persen pada 2015, melambat jika dibanding tahun sebelumnya sebesar 5,02 persen. Pertumbuhan ekonomi nasional mencapai Rp11.540,8 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp45,2 juta atau 3.377,1 dolar AS.
Lima tahun pertama pemerintahannya, Jokowi hanya mampu mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen, turun dari capaian tahun 2018 yang masih berada di level 5,17 persen.
Berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai Rp15.833,9 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp59,1 Juta atau 4.174,9 dolar AS.
Selanjutnya pada 2020, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi di angka -2,07 persen. Angka minus ini tak dimasalahkan lantaran saat itu seluruh dunia dilanda pandemi Covid-19. Setahun berikutnya naik jadi 3,7 persen dan kembali lagi ke tren 5 persen pada 2022. Namun, pertumbuhan yang baik ini ditopang oleh booming komoditas yang temporer. Jokowi terlalu menitikberatkan pada sektor Sumber Daya Alam (SDA) atau komoditas olahan primer
Pada 2023, ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,05 persen, dengan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp20.892,4 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp75 juta atau 4.919,7 dolar AS. Selanjutnya, pada triwulan I-2024, mengalami kenaikan hingga 5,11 persen dan kembali anjlok di 5,05 persen pada triwulan II-2024.
Angka pertumbuhan yang stagnan di 5 persen kurang berdampak pada kualitas pembangunan, kemiskinan, dan tingkat ketimpangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen atau sebesar 25,22 juta orang, turun 0,33 persen atau 0,68 juta orang dari tahun sebelumnya. Sementara pada Maret 2015 , jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 28,59 juta orang.
Angka kemiskinan yang turun memang melegakan. Tapi, menurut BPS masyarakat yang ada di posisi rentan miskin juga tinggi, sekitar 32,28 persen.
Singkat kata, pertumbuhan ekonomi yang rata-rata sebesar 5 persen tersebut hanya bisa dinikmati oleh kalangan kelas menengah atas. Sedangkan kelas menengah bawah hanya tumbuh dari sokongan bantuan sosial. Alhasil, masyarakat kelas menengah bawah lebih rentan jatuh di bawah garis kemiskinan.
Presiden Prabowo jelas tidak bisa menikmati bulan madu. Belum-belum dia sudah putar otak untuk mengatasi beban utang yang tahun ini saja bunganya mencapai Rp400 triliun. Dan tahun depan Rp800 triliun. Apa boleh buat, ia pun harus berakrobat menganggarkan sekitar Rp1.200 triliun dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya untuk membayar bunga utang.
Ini membuktikan bahwa utang yang ditarik pemerintahan lalu telah menjadi beban, alih-alih mendongkrak perekonomian.