Dari Shell hingga Chevron Hengkang, Ada Apa dengan Iklim Investasi Hulu Migas di Indonesia?
- Sejumlah perusahaan kakap global yang bergelut di sektor minyak dan gas (migas) tercatat secara perlahan mulai hengkang dan melepas kegiatan eksplorasi nya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Nasional
JAKARTA – Sejumlah perusahaan kakap global yang bergelut di sektor minyak dan gas (migas) tercatat secara perlahan mulai hengkang dan melepas kegiatan eksplorasinya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Beberapa raksasa migas yang memutuskan untuk hengkang tersebut di antaranya adalah Shell dari Blok Masela, Chevron dari Blok Rokan, Total dari Blok Mahakam, hingga yang terbaru adalah ConocoPhillips yang melepas kegiatan eksplorasinya di Blok Corridor.
Beberapa faktor digadang-gadang menjadi penyebab dari hengkangnya perusahaan raksasa migas dunia tersebut, di antaranya adalah iklim investasi hulu migas di Indonesia yang tidak begitu menarik dibandingkan dengan negara-negara lain, hingga efek dari proses transisi penggunaan energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT) yang sedang berlangsung.
- Bos Mayapada Group Dato Sri Tahir Tambah Saham di MPRO Jadi 21,25%
- Sarana Menara (TOWR) Tebar Dividen, Berapa Jatah Hartono Bersaudara?
- Bank Kookmin Siap Tambah Kepemilikan Hingga Batas Maksimal, Bank Bukopin Bakal Cao?
Pengamat ekonomi energi dan pertambangan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyebut bahwa di samping karena transisi energi yang menyebabkan masa depan energi fosil semakin suram, iklim investasi migas di Indonesia juga kurang kondusif dibanding negara lain.
“Fiscal Insentive yang diberikan kurang memadai dibanding negara lain, kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) kadang menghambat lantaran tidak semua komponen yang dibutuhkan tersedia. Kalaupun tersedia, kualitasnya tidak sesuai standar,” ujar Fahmy kepada TrenAsia.com, Selasa 14 Desember 2021.
Persaingan beberapa negara dalam rangka menggaet investor kakap diketahui memang semakin kompetitif belakangan ini. Sebagai contoh, Malaysia, Thailand, hingga Australia telah menyiapkan strategi untuk membuat iklim investasi hulu migas di negaranya menjadi lebih menarik.
Sejumlah strategi yang dilakukan oleh negara-negara tersebut adalah dengan memberikan berbagai macam kemudahan melalui kebijakan fiskal.
Di antaranya, memberikan bonus tanda tangan yang dapat dinegosiasikan dengan nilai minimal US$330,000 atau setara Rp4,73 miliar (asumsi kurs Rp14.346 per dolar Amerika Serikat), serta hanya memberikan keterlibatan lokal sebesar 5% seperti yang dilakukan oleh Thailand.
- Sarana Menara (TOWR) Tebar Dividen, Berapa Jatah Hartono Bersaudara?
- Bank Kookmin Siap Tambah Kepemilikan Hingga Batas Maksimal, Bank Bukopin Bakal Cao?
- Punya Utang Rp8,1 Triliun ke Negara, Bos Grup Texmaco Janji Lunasi dalam 7 Tahun
Selain memberikan kemudahan serta insentif melalui kebijakan fiskal, Fahmy juga menjelaskan bahwa cadangan terbukti yang dimiliki oleh Indonesia juga masih sedikit jika dibandingkan dengan data geologis yang menunjukkan potensi besar dari cadangan migas di Indonesia.
Hal tersebut dinilai menjadi pertimbangan para perusahaan kakap karena harus melakukan kegiatan eksplorasi lebih jauh, yang mana tentunya juga membutuhkan dana yang tidak sedikit, serta di tengah situasi ketidakpastian akibat krisis energi di Eropa dan pandemi.
“Mestinya Pertamina sebagai national oil company melakukan eksplorasi hingga menjadikan cadangan terbukti, sehingga mendorong investor melakukan investasi eksplorasi,” lanjut pengamat dari UGM tersebut kepada TrenAsia.com.
Dengan situasi ketidakpastian ditandai dengan lesunya iklim investasi hulu migas di Indonesia tersebut, pengamat memproyeksikan bahwa target produksi SKK Migas di 2030 mustahil dapat tercapai, kecuali ditemukan sumur baru yang dapat menghasilkan migas dalam jumlah besar.