Debat Cawapres Dinilai Gagal Kuliti Akar Krisis Iklim
- Organisasi lingkungan Greenpeace menilai debat calon wakil presiden (cawapres) yang berlangsung di Jakarta akhir pekan lalu gagal mengidentifikasi penyebab utama krisis iklim. Alih fungsi lahan dan masifnya penggunaan batu bara di sektor energi yang menjadi akar krisis iklim tak banyak dibahas.
Nasional
JAKARTA—Organisasi lingkungan Greenpeace menilai debat calon wakil presiden (cawapres) yang berlangsung di Jakarta akhir pekan lalu gagal mengidentifikasi penyebab utama krisis iklim. Alih fungsi lahan dan masifnya penggunaan batu bara di sektor energi yang menjadi akar krisis iklim tak banyak dibahas.
Diketahui, debat kali ini mengangkat tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. Greenpeace Indonesia menyesalkan tidak adanya komitmen yang komprehensif, jelas, dan terukur untuk mengatasi krisis iklim yang disampaikan dalam acara tersebut.
“Kita menyaksikan bahwa ekonomi ekstraktif masih menjadi watak dalam visi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka menggaungkan ekonomi ekstraktif lewat isu nikel dan hilirisasi, sedangkan cawapres 01 Muhaimin Iskandar dan cawapres 03 Mahfud MD juga tak tegas menyatakan komitmen mereka untuk keluar dari pola-pola yang sama,” ujar Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam keterangannya, Senin, 22 Januari 2024.
Watak ekonomi ekstraktif pemerintah selama ini dinilai telah memicu banyak masalah. Hal itu mulai dari ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang melahirkan pelbagai konflik agraria; merampas hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hingga masyarakat pesisir.
Ekonomi ekstraktif juga merusak hutan dan lahan gambut; mencemari lingkungan; membuat Indonesia menjadi salah satu negara emiter besar karena ketergantungan pada industri batu bara; sekaligus memperparah krisis iklim.
Dalam isu reforma agraria, Greenpeace menyebut para cawapres tidak membahas penyelesaian konflik-konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional (PSN). Cawapres 02 dan 03 misalnya, hanya terbatas membahas rencana sertifikasi dan redistribusi lahan tanpa menyentuh akar masalah.
- Aset Miliaran Dolar Disita dalam Kasus Pencucian Uang di Singapura
- Gen Z Lebih Memprioritaskan Kehidupan Pribadi Dibanding Kerja, Ini Sebabnya
- Hingga Akhir 2023, Ada 2.704 Unit Infrastruktur Siap Ngecas Kendaraan Listrik
Data Konsorsium Pembaruan Agraria mengungkap ada 42 konflik agraria akibat PSN pada 2023, melonjak eskalasinya dibanding tahun sebelumnya. Konflik ini meliputi 516.409 hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 85 ribu keluarga.
Ruang hidup masyarakat adat juga terus tergerus akibat pembukaan lahan dan deforestasi. “Pernyataan cawapres 01 tentang reforestasi untuk mengatasi deforestasi jelas tak menjawab persoalan,” ujar Leonard.
Menurut dia, kerusakan hutan akibat deforestasi, termasuk seperti yang terjadi di food estate Gunung Mas Kalimantan Tengah, tak bisa serta-merta dibereskan dengan melakukan penanaman kembali. “Pemulihan hutan yang rusak dengan cara reforestasi memang harus dilakukan. Namun, yang paling krusial sebenarnya adalah menghentikan deforestasi,” ucapnya.
Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang 2015-2022, angka deforestasi mencapai 3,1 juta hektare. Deforestasi terencana juga mengancam hutan alam Papua yang kini tersisa 34 juta hektare (per 2022).
Sepanjang 1992-2019, ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua yang dibuat Menteri Kehutanan. Total pelepasan kawasan hutan ini seluas 1,5 juta hektare dan 1,1, juta hektare di antaranya masih berupa hutan alam dan gambut.
“Selain itu, kebakaran hutan dan lahan gambut juga masih terjadi saban tahunnya. Pada 2023 saja, angka kebakaran lahan dan hutan mencapai 1,16 juta hektare, tapi sayangnya luput dari pembahasan debat cawapres,” imbuh Leonard.
Glorifikasi Industri Nikel
Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid menyayangkan para cawapres yang tidak menyinggung masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, yang tempat tinggalnya rentan tenggelam karena kenaikan muka air laut. “Perspektif para kandidat dalam isu lingkungan hidup dan sumber daya alam masih bias darat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Greenpeace menyoroti pernyataan cawapres 02 yang mengglorifikasi industri nikel dan ambisi hilirisasinya dengan mengabaikan banyaknya persoalan yang terjadi selama ini. “Pertambangan nikel telah memicu kerusakan lingkungan, pencemaran akut, dan penggusuran masyarakat adat,” ujar Khalisah.
Nikel di Indonesia beroperasi dengan skema perizinan berbasis lahan. Per September 2023, ada 362 izin pertambangan nikel dengan luas 933.727 hektare, sebagian besar berada di timur Indonesia yang kaya biodiversitas.
Di beberapa lokasi telah terjadi pembukaan lahan dan deforestasi di dalam izin konsesi nikel seluas 116.942 hektare, masing-masing terjadi di Pulau Sulawesi 91.129 hektare atau 20% dari total deforestasi Pulau Sulawesi, dan di Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku Utara dan Maluku) seluas 23.648 hektare atau 8 persen dari deforestasi Kepulauan Maluku. “Eksploitasi nikel yang ugal-ugalan juga telah mencemari laut dan udara,” imbuh Khalisah.
Pada isu energi, tiga cawapres tidak menyinggung secara detail rencana percepatan transisi ke energi terbarukan dan mengakhiri penggunaan energi batu bara. Padahal, transisi energi dinilai sangat krusial untuk memangkas emisi karbon dan menekan kenaikan suhu Bumi.
Demokratisasi energi yang seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses transisi energi juga luput dari pembahasan. Para kandidat juga tak membahas rencana pensiun dini PLTU batu bara, meski program itu tertuang dalam dokumen visi-misi paslon 01 dan 02. “Absennya isu batu bara ini patut kita pertanyakan. Apa memang dihindari karena masing-masing paslon juga didukung oligarki batu bara?” kata Leonard.
Greenpeace menyayangkan para cawapres justru mengumbar solusi palsu transisi energi. “Misalnya rencana melanjutkan bioenergi, seperti biodiesel, yang disampaikan cawapres 02. Pemenuhan biodiesel berpotensi memicu ekspansi industri sawit melalui deforestasi yang mengancam hutan dan lanskap gambut alami yang tersisa,” tukas Leonard.