<p>Pedagang melayani pembeli di kios los daging, Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin, 3 Mei 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional

Deflasi Berkepanjangan, Batu Sandungan Baru Pemulihan Ekonomi Indonesia

  • Sebulan lalu, Indonesia untuk pertama kalinya di tahun ini mencatatkan deflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi pada Juni 2021 sebesar 0,16% month to month (mtm).

Nasional
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Sebulan lalu, Indonesia untuk pertama kalinya di tahun ini mencatatkan deflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi pada Juni 2021 sebesar 0,16% month to month (mtm).

Kondisi ini menjadi indikasi awal menurunnya kemampuan masyarakat dalam konsumsi.  Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Randy menyebut momentum pasca lebaran mendorong terjadinya deflasi pada Juni lalu.

Meski begitu, momentum pasca lebaran bukan lah faktor tunggal yang mendorong menurunnya permintaan tersebut. Hal ini, kata Yusuf, turut didorong oleh peningkatan kasus COVID-19 yang membuat masyarakat mengurangi konsumsinya.

“Faktor seasonal dimana permintaan barang dan jasa masyarakat berkurang dan juga faktor meningkatnya kasus COVID-19 di pertengahan Juni lalu. Dengan peningkatan ini, tentu aktivitas masyarakat terbatas dan pada muaranya ini berdampak pada penurunan aktivitas ekonomi,” kata Yusuf kepada TrenAsia.com, Kamis, 15 Juli 2021.

Deflasi berkepanjangan berpotensi dialami Indonesia seiring roda perekonomian yang dibatasi oleh Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Pada Juli 2021, riset CORE menyebut Indonesia kemungkinan besar mengalami deflasi sebesar 0,2% mtm.

Kondisi ini menjadi sinyal Indonesia tengah mengalami perlambatan ekonomi. Maka dari itu, Yusuf memprediksi Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) dan Indeks Penjualan Riil ikut merosot akibat rendahnya permintaan.

Dampak Deflasi

Jika kondisi ini secara berkelanjutan dialami Indonesia, Yusuf memprediksi angka inflasi 3% year on year (yoy) yang dipasang Bank Indonesia (BI) tidak akan tercapai. Dampaknya, pengusaha bakal menangkap sinyal ini dengan mengurangi produktivitas secara berkala.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyebut ada potensi lonjakan angka pengangguran akibat penurunan daya beli masyarakat. Potensi ini terbuka, terutama pada sektor-sektor yang terdampak pembatasan mobilitas seperti transportasi, restoran, dan ritel.

“Deflasi menunjukkan penurunan permintaan masyarakat akibat pembatasan. Restriksi juga mengakibatkan penurunan pendapatan para pelaku usaha, termasuk juga karyawan-karyawannya,” ungkapnya kepada Trenasia.com, Kamis, 15 Juli 2021.

BPS mencatatkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,75 juta orang pada Februari 2021. Jumlah tersebut meningkat 26,26% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 6,93 juta orang. Ini artinya, pemerintah masih belum menyerap kembali sebagian besar korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi selama setahun ini.

Parahnya, sektor-sektor tersebut nyatanya belum bangkit dari dampak resesi ekonomi pada tahun lalu. Tengok saja sektor lapangan usaha sektor transportasi yang masih terkontraksi hingga 13,12% yoy pada kuartal I-2021.

Tekanan berulang akibat PPKM Darurat ini, kata Faisal, semakin menahan pemulihan ekonomi nasional. Pasalnya, penyelesaian masalah pengangguran tidak bisa dalam waktu singkat.

Pemerintah perlu menggenjot investasi dengan nilai tinggi agar bia hadirkan proyek baru yang mampu menyerap tenaga kerja. Meski begitu, penurunan kinerja yang tampak pada outlook makroekonomi Indonesia nampaknya tidak bakal menggugah investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Di dalam negeri saja, pemangku kebijakan ramai-ramai mengkoreksi target pertumbuhan ekonomi. BI diektahui merevisi target pertumbuhan ekonomi 2021 dari 4,1%-5,1% menjadi 3,8% yoy. Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membeberkan target pertumbuhan ekonomi baru Indonesia di angka 3,7%-4,5% yoy.

“Potensi deflasi sepanjang berlakunya PPKM darurat memang besar, di bulan-bulan Juli dan sangat mungkin juga di Agustus. Akibatnya daya beli secara agregat mengalami penurunan, harga-harga barang terkoreksi,” ucap Faisal.