Demo RUU Penyiaran: Peringatan dari Kampung Halaman Jokowi
- Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang tengah disusun DPR memicu gelombang resistensi dari masyarakat pers. Beberapa hari terakhir, kelompok jurnalis dari sejumlah wilayah Nusantara menggelar aksi untuk menggagalkan RUU tersebut karena bertentangan dengan kebebasan pers dan demokrasi.
Nasional
SOLO—Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang tengah disusun DPR memicu gelombang resistensi dari masyarakat pers. Beberapa hari terakhir, kelompok jurnalis dari sejumlah wilayah Nusantara menggelar aksi untuk menggagalkan RUU tersebut karena bertentangan dengan kebebasan pers dan demokrasi.
Sejumlah jurnalis di Malang, Banyuwangi, Medan, Jogja, hingga Mataram menggelar demonstrasi untuk menolak revisi UU Penyiaran. Terkini, para wartawan di Kota Solo ikut turun ke jalan untuk menggagalkan pengesahan RUU Penyiaran yang dinilai bakal membawa jurnalisme menuju masa kegelapan. Solo merupakan kampung halaman Presiden Joko Widodo.
Pantauan TrenAsia, Senin 21 Mei 2024 sore, aksi diikuti sekitar 30 jurnalis di Plaza Manahan, Solo. Mereka berasal dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Solo, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Solo, Forkom Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solo, dan sejumlah jurnalis televisi di Solo.
Jurnalis turut mengajak para konten kreator yang juga bakal terdampak apabila UU Penyiaran disahkan. Selain berorasi, jurnalis menggelar aksi teatrikal untuk menyindir hukum di Indonesia yang mudah disetir penguasa. Seorang jurnalis yang badannya dicat putih tampak diikat rantai besi dengan mulut diplester.
Di dekatnya, tampak seseorang dengan pakaian perlente menarik rantai yang mengikat jurnalis sesuka hati. Aksi juga diwarnai pembacaan puisi oleh seniman serta penanggalan kartu pers sebagai simbol protes.
Baca Juga: 10 Usulan Kominfo Terkait RUU Penyiaran
Ketua AJI Solo, Mariyana Ricky P.D, mengatakan RUU Penyiaran versi 2024 memiliki sejumlah pasal problematik, antara lain larangan konten eksklusif mengenai jurnalisme investigasi dan pengambilalihan wewenang Dewan Pers oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Nana, sapaan akrabnya, menilai pasal larangan jurnalisme investigasi tidak rasional karena “mengamputasi” roh kerja jurnalistik. Pihaknya menuding ada sejumlah pihak yang terusik dengan jurnalisme investigasi. “Mungkin ada ketakutan oligarki dan konglomerasi ketika kasus mereka dibongkar melalui investigasi,” ujarnya saat ditemui usai aksi.
Nana menegaskan jurnalis adalah pilar keempat demokrasi yang menjadi mata dan telinga publik. “Tidak ada kejahatan yang bisa disembunyikan,” tegas jurnalis Solopos ini. Selain jurnalisme investigasi, ada beberapa pasal yang problematik, antara lain melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran.
Pada draf RUU Penyiaran ini menghapus pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran no 32/2002, di mana pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. “Hilangnya pasal-pasal ini akan memuluskan penguasaan TV dan Radio pada konglomerasi tertentu,” ujar Sekjen AJI Indonesia, Bayu Wardhana, dalam diskusi sebelum pelaksanaan aksi.
Bayu juga mengingatkan revisi UU Penyiaran bisa berdampak pada konten kreator. Hal itu karena KPI diberi wewenang menyensor konten di media sosial. “Sehingga perlu gerakan bersama. Jangan sampai upaya menolak RUU Penyiaran menjadi isu eksklusif jurnalis saja,” ujarnya.
Substansi Bermasalah
Proses revisi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran belakangan turut menuai protes dari kalangan masyarakat sipil. Pasalnya penyusunan draf RUU Penyiaran dinilai banyak kalangan tidak melibatkan pemangku kepentingan dan substansinya bermasalah. Ironisnya, terdapat materi yang mengancam kebebasan pers.
Kekhawatiran akan terpasungnya kebebasan pers turut diapungkan Andi M Faisal Bakti. Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyoroti Pasal 50B ayat (2) yang mencantumkan larangan konten berita yang ditayangkan melalui media penyiaran, antara lain penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Andi menilai ketentuan dalam RUU itu tergolong karet sehingga rentan menjerat jurnalis. Padahal selama ini tak sedikit insan pers yang dijerat pidana menggunakan UU No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. “RUU ini harusnya disusun dengan melibatkan pemangku kepentingan, baik Dewan Pers dan organisasi jurnalis,” ujarnya.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil menilai RUU Penyiaran benar-benar mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Mereka menyebut ada sejumlah pasal multitafsir dan sangat berpotensi digunakan alat kekuasaan untuk membatasi kebebasan sipil dan partisipasi publik.
“Sebagai pilar keempat demokrasi, media punya peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi, khususnya yang melibatkan masyarakat sebagai fungsi Watchdog. Revisi UU Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR bertolak belakang dengan semangat demokrasi,” ujar perwakilan koalisi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Tibiko Zabar, dalam keterangan resmi, dikutip Rabu 22 Mei 2024.