tembakau.jpg
Industri

Dewan Periklanan Indonesia Pertanyakan Rencana Larangan Iklan Rokok di Aturan Turunan UU Kesehatan

  • Setelah UU Kesehatan diundangkan pada 8 Agustus 2023, industri periklanan dikagetkan dengan munculnya wacana pelarangan total iklan produk tembakau di ruang publik dan internet yang tertuang dalam draft PP UU Kesehatan.
Industri
Debrinata Rizky

Debrinata Rizky

Author

JAKARTA – Dewan Periklanan Indonesia (DPI) mempertanyakan rencana pelarangan iklan produk tembakau di ruang publik maupun internet di dalam draft Peraturan Pemerintah (PP) yang sedang disusun Kementerian Kesehatan (Kemenkes). 

Sebagai salah satu pihak yang berkaitan erat dengan industri hasil tembakau, pihaknya mengaku belum pernah dilibatkan dalam pembahasan aturan turunan Undang-Undang (UU) Kesehatan tersebut. Padahal, dampak aturan soal tembakau pada periklanan nasional sangat besar, seperti dalam aspek tenaga kerja hingga pemasukan.

Ketua Badan Musyawarah Regulasi DPI sekaligus Anggota Tim Perumus Etika Pariwara Indonesia, Herry Margono, mengatakan setelah UU Kesehatan diundangkan pada 8 Agustus 2023, industri periklanan dikagetkan dengan munculnya wacana pelarangan total iklan produk tembakau di ruang publik dan internet yang tertuang dalam draft PP UU Kesehatan. Hal ini dinilainya akan menuai banyak protes dari berbagai pihak karena menimbulkan ketidakadilan.

“Pihak periklanan seharusnya dilibatkan dalam perumusan aturan turunan iklan produk tembakau tersebut. Dewan Periklanan Indonesia juga layak didengarkan pertimbangannya. Minimal adalah Persaturan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) juga dilibatkan. Ini kami belum mengetahui sama sekali informasinya,” terang Herry kepada wartawan.

Selain itu, disebutkan bahwa Rancangan PP turunan UU Kesehatan tersebut turut menyertakan pelarangan mengiklankan produk tembakau di tempat penjualan dan ruang publik. “Ini juga perlu diperjuangkan. Kenapa kok enggak boleh sama sekali ada promosi rokok di ruang publik?” tegas Herry.

Herry melanjutkan, draft PP ini perlu disosialisasikan kepada publik, terutama mengenai wacana pelarangan-pelarangan tersebut. “Apa acuannya dari masing-masing larangan itu? Reason dan why-nya apa? Ini perlu sosialisi dan justifikasi ke masyarakat.”

Ia juga mengingatkan pemerintah bahwa wacana pelarangan iklan produk tembakau akan berdampak buruk tidak hanya bagi industri hasil tembakau, tapi juga termasuk industri ekonomi kreatif, termasuk di dalamnya industri periklanan, pertunjukan, media, dan hiburan. Padahal, menurutnya, saat ini mayoritas industri tersebut sedang berupaya pulih pasca terdampak pandemi COVID-19 yang imbasnya berlangsung cukup lama.

“Pembatasannya kan sudah baik selama ini. Jadi, kenapa harus ada pengetatan lagi? Ini perlu dijelaskan kepada publik,” kata Herry.

Selain itu, Herry juga menekankan bahwa di draft PP terbaru ini, aturan mengenai periklanan produk tembakau di media penyiaran hanya membolehkan iklan rokok mulai dari jam 23.00 sampai jam 03.00. “Rencana jam tayang di TV ini terlalu ketat. Apa pertimbangannya? Ruangnya sedikit banget.”

Herry menambahkan pihaknya bahkan belum mendapatkan pemberitahuan tentang rencana bentuk aturan turunan UU Kesehatan yang semula akan terdiri dari 108 PP terpisah tetapi akan diringkas menjadi satu PP. “Yang penting adalah harmonisasi regulasi saja. PP-nya tidak bertentangan dengan UU-nya, sehingga kalau di UU-nya tidak dilarang, ya semestinya di aturan turunannya juga tidak dilarangnya,” tegasnya.

Di kesempatan berbeda, Anggota Komisi IX DPR RI, Abidin Fikri, mengatakan pentingnya keterbukaan informasi publik dalam penyusunan PP sebagai aturan turunan UU Kesehatan. ”Prinsipnya, keterbukaan informasi publik itu penting dikedepankan. Ini harus menjadi perhatian. Keterbukaan informasi publik bertujuan supaya publik menjadi tahu dan tidak menimbulkan polemik.”

Selain itu, politisi dari PDI Perjuangan ini juga memberikan pendapat terkait wacana pelarangan iklan dan promosi produk tembakau sebagai bagian dari aturan turunan UU Kesehatan. Ia menyatakan bahwa pengaturan itu memang penting untuk dilakukan, tetapi bukan pelarangan. “Jangan sampai ini menjadi pengekang industri kreatif,” ujarnya.

Ia meyakini bahwa Kemenkes, dan terutama Menteri Kesehatan, akan mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan, termasuk industri kreatif dan media. “Menurut hemat kami, Pak Menteri pasti akan memperhatikan hal-hal yang berkaitan informasi publik. Apalagi ini berkaitan dengan kebijakan yang menyangkut masyarakat luas,” pungkasnya.