Di Tengah Kasus Meikarta, Bank Nobu Milik Lippo Juga Terancam OJK
- Pilihan lebih realistis menurut Josua adalah injeksi modal pemilik bank. Mengingat kedua bank juga memiliki share holder yang kuat dan sangat dimungkinkan ada arahan penambahan modal.
Pasar Modal
JAKARTA – Di tengah merebaknya kasus gagalnya mega proyek Meikarta, Grup Lippo kini juga sedang menghadapi masa sulit terkait modal inti PT Bank Nationalnobu Tbk (NOBU) yang masih jauh di bawah ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sesuai Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2020 terkait konsolidasi bank umum, setiap bank umum wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3 triliun sampai akhir 2022. Sementara modal inti NOBU hingga kuartal III-2022 baru Rp1,6 triliun.
Sesuai aturan, bank yang gagal melewati tenggat aturan itu akan diturunkan kastanya oleh OJK menjadi BPR. Salah satu yang sudah diputuskan oleh OJK adalah Prima Master Bank yang turun kasta pada awal Januari 2023.
Sejumlah upaya yang dilakukan Lippo untuk memenuhi aturan OJK sejauh ini masih mentok. Strategi rights issue dengan menawarkan 681.819.174 saham baru di harga pelaksanaan Rp592 per saham belum cukup. Soalnya aksi korporasi itu hanya mampu menarik modal tambahan Rp403,6 miliar, masih kurang.
Mengingat situasi sulit tersebut banyak kabar berembus terkait rencana merger antara NOBU dengan PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP). Kebetulan kedua bank tersebut juga memiliki nasib yang mirip. Sama-sama membutuhkan tambahan modal agar tetap survive dari aturan OJK.
- Erick Thohir Optimistis Dividen BUMN Tahun Ini Capai Rp60 T, Lebihi Target Jokowi
- BFI Finance (BFIN) Kantongi Laba Bersih Rp1,80 Triliun Sepanjang 2022
- Tertinggi dalam Sejarah, BFI Finance Kantongi Pembiayaan Baru Senilai Rp20 Triliun
Namun dalam keterbukaan informasi BEI, Corporate Secretary PT Bank Nationalnobu Tbk, Mario Satrio menampik adanya arahan pemilik untuk merger dengan bank selevel, misalnya PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP).
“Apabila setelah rights issue yang dilakukan perseroan tidak mencapai modal inti yang dipersyaratkan, perseroan memastikan bahwa seluruh rencana aksi korporasi (rights issue I dan II serta rencana aksi korporasi berikutnya) yang telah dikoordinasi dan disetujui OJK akan dapat memenuhi ketentuan modal inti bank,” kata Mario.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menilai sejak awal Grup Lippo memang tidak berniat untuk membesarkan NOBU saat mereka mengakuisisinya tahun 2010 silam, melainkan sebaliknya.
Hal itu terlihat dari strategi kredit perbankan ke Grup Lippo yang mana untuk proyek berisiko tinggi dari sisi feasibility dan bankability nya seperti Meikarta pembiayaannya dicarikan dari NOBU.
Sebaliknya untuk proyek dengan feasibility tinggi dan risiko terkendali seperti Lippo Mall pembiayaannya dicarikan dari bank luar, misalnya PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk maupun PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Hal ini makin terlihat saat Grup Lippo menarik fasilitas kredit sindikasi Rp3,89 triliun untuk membayar global bond jatuh tempo dari total pagu kredit sindikasi Rp6 triliun dari CIMB Niaga dan BNI.
“Kenapa ambil kredit dari luar? Karena lebih menguntungkan bagi Grup Lippo secara keseluruhan (holding),” kata Andri.
Andri menambahkan, ketidakseriusan Grup Lippo dalam membesarkan NOBU terlihat dari modal yang terus tergerus setiap tahunnya akibat kenaikan NPL dan portofolio kredit yang kurang bagus. Untuk itu, dibutuhkan komitmen lebih dari Grup Lippo selaku pemilik NOBU untuk menambah suntikan modalnya, kalau tidak mau NOBU disanksi turun kelas menjadi BPR.
“Saya rasa merger akan menjadi pilihan terakhir mereka. Kalau melihat pernyataan terkini dari manajemen masing-masing kelihatannya sama-sama tidak menginginkan merger dan bukan merupakan titik temu di antara mereka,” tambah Andri.
Menilik ke belakang, saat itu Mochtar Riady pendiri Grup Lippo, lewat PT Kharisma Buana Nusantara (KBN) memborong 60% saham bank milik Nio Yantony, pendiri Grup Pikko. Bukan tanpa alasan NOBU dijajakan ke Mochtar Riady. Ia dikenal dengan rekam jejak dan kemampuannya dalam meracik bisnis bank yang piawai.
Dari awal mengakuisisi, Grup Lippo juga terang-terangan membuka diri kepada pemodal (strategic investor) lain yang ingin bersama-sama membesarkan NOBU menjadi bank papan atas tanah air. Grup Lippo terus bongkar pasang proporsi kepemilikannya di NOBU serta terus menggandeng pihak luar sebagai mitra strategis.
Alhasil, per 31 Desember 2022 Grup Lippo menjadi pemegang mayoritas lewat PT Putra Mulia Indonesia milik putra Mochtar, James Riady (23,88%), PT Prima Cakrawala Sentosa, anak usaha PT Multipolar Tbk (18,88%), PT Matahari Department Store Tbk (15,82%) dan PT Lippo General Insurance Tbk (7,33%). Sisanya dikempit publik 12,56%, DCBC Securities Pte Ltd Client A/C 11,22% dan Nomura Securities Co Ltd 9,3%.
Senada dengan Andri, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai merger antara NOBU dengan bank lain seperti BABP sulit terjadi lantaran dari performa seperti LDR, NIM maupun NPL misalnya NOBU masih relatif lebih baik. Tercatat LDR NOBU saat ini di kisaran 77%.
“Memang dari sisi regulasi OJK dimungkinkan merger tapi kita tunggu saja. Kalau melihat pernyataan manajemen masing-masing rasanya sulit. Apalagi konsolidasi ini man bukan soal menggabungkan dua perusahaan saja, tapi juga menggabungkan culture, strategi bisnis ke depan. Satu sisi memang perlu langkah cepat pemenuhan kewajiban modal inti, tapi aksi korporasi merger ini enggak mudah dan perlu pertimbangan lebih lanjut.
"Pilihan lebih realistis adalah injeksi modal pemilik bank. Kedua bank juga memiliki shareholder yang kuat," tutupnya.