<p>Alat berat mengangkut tumpukan sampah yang menutupi permukaan air di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan, Selasa, 22 September 2020. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat total 888 ton sampah menumpuk di Pintu Air Manggarai yang terbawa dari aliran Sungai Ciliwung. Jumlah petugas yang dikerahkan adalah 20 orang dengan total armada 20 unit dan tiga jenis alat berat yang digunakan. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Di UU Ciptaker, Kontrol Pemerintah dalam Menjaga Lingkungan Lemah

  • JAKARTA – Sejumlah pihak menyayangkan dicabutnya relaksasi persyaratan lingkungan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dikhawatirkan, investasi yang masuk tidak diimbangi dengan kepatuhan menjaga kelangsungan sumber daya alam. Sebagai contoh, masuknya foreign direct investment (FDI) di sektor pertanian harus dipastikan sejalan dengan keberadaan lahan yang sehat. Sebab, keberadaan lahan itu sendiri penting untuk keberlangsungan produksi […]

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Sejumlah pihak menyayangkan dicabutnya relaksasi persyaratan lingkungan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dikhawatirkan, investasi yang masuk tidak diimbangi dengan kepatuhan menjaga kelangsungan sumber daya alam.

Sebagai contoh, masuknya foreign direct investment (FDI) di sektor pertanian harus dipastikan sejalan dengan keberadaan lahan yang sehat. Sebab, keberadaan lahan itu sendiri penting untuk keberlangsungan produksi pertanian.

“Sayangnya, persyaratan lingkungan dihilangkan dari UU dan hanya akan diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah,” kata Felippa Amanta, Head of Research CIPS, Rabu, 7 Oktober 2020.

Untuk meminimalisasi kurangnya fungsi reguleren pemerintah, Felippa mengusulkan sejumlah hal untuk memastikan kelestarian lingkungan tetap terjaga.

Pertama, tetap berlakunya kriteria untuk analisis dampak lingkungan, analisis dan manajemen risiko bagi hasil pertanian dengan rekayasa genetik, dan sistem tanggap darurat untuk menanggulangi terjadinya kebakaran.

Kedua, pemerintah tetap perlu memberlakukan adanya denda bagi bagi pelaku usaha yang tidak memenuhi standar mutu dan persyaratan teknis minimal. Pemberlakuan sanksi bagi pelaku usaha yang membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat juga tetap diperlukan.

“Penghapusan denda dan sanksi perlu ditinjau ulang oleh pemerintah mempertimbangkan dampak dari kerusakan lingkungan terhadap masyarakat,” terang Felippa.

Fungsi Kontrol Pemerintah

Dengan hilangnya sanksi dan denda semakin mengurangi peran pemerintah dalam upaya menjaga kelangsungan lahan. Setidaknya perlu ada acuan dari pemerintah yang dapat dilihat oleh para pelaku usaha untuk berhati-hati dalam mengelola lahan.

Hal ini lantara kelangsungan lingkungan dan sektor pertanian sangat berhubungan erat. Sektor pertanian berkontribusi terhadap perubahan iklim karena adanya deforestasi, manajemen air melalui irigasi, degradasi tanah dan polusi yang disebabkan penggunaan pupuk dan pestisida yang kurang baik.

Perubahan iklim akan berdampak buruk terhadap pertanian karena cuaca yang tidak menentu mengakibatkan masa panen tidak menentu, cuaca ekstrem seperti banjir atau kemarau berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal panen.

“Hal ini, tidak sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian. “

Jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan sektor pertanian seperti yang terlihat dari dimudahkannya investasi dan izin usaha pertanian, maka pemerintah juga patutnya memperhatikan isu pengelolaan lahan dan lingkungan ini.

Merujuk data Bank Dunia,  kerugian akibat kebakaran hutan pada 2019 ditaksir mencapai US$5,2 miliar atau sekitar Rp72,75 triliun.

Kebakaran hutan dan lahan seluas 1,6 juta hektar ini juga menyebabkan kerugian kesehatan. Seperti gangguan pernapasan akut pada masyarakat sekitar dan kerugian lingkungan karena emisi karbon lepasannya.