Ilustrasi Subak Bali. (kebudayaan.kemdikbud.go.id)
Nasional

Dibahas di WWF 2024, Mari Mengenal Subak Bali

  • Keberadaan Subak mewakili filosofi Tri Hita Karana (THK), yaitu filosofi Hindu Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta
Nasional
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Indonesia memperkenalkan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air pada gelaran World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Hilmar Farid, mengungkapkan salah satu bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan air adalah Subak, yang berasal dari Bali.

“Belajar dari kearifan lokal di Bali. Di mana masyarakat yang berada di hilir bisa merasakan manfaat pengelolaan air yang sifatnya berkelanjutan di hulu memberikan dukungan kepada masyarakat yang di hilir,” ujar Hilmar dalam konferensi pers di Media Center WWF ke-10 Bali, pada Selasa, 21 Mei 2024.

“Sistem solidaritas yang dibangun itu sebetulnya juga jika diproyeksikan di masa sekarang dengan dukungan sains dan teknologi modern mungkin bisa menjawab sebagian persoalan pengelolaan air yang bijak dan lestari.”

Pemerintah daerah juga bertanggung jawab untuk memastikan gagasan-gagasan yang baik dan kearifan lokal yang berkontribusi dalam pengelolaan air dapat terus berjalan dengan baik.

Di samping itu, semua pihak perlu terus menjaga dan menyatukan kesadaran mengenai manfaat dari Subak. Menurutnya, penting bagi semua pihak untuk memahami Subak menjadi suatu sistem sosial yang menjaga satu keutuhan masyarakat.

“Ketika itu hanya diperlakukan sebagai sebuah sistem irigasi untuk mengairi sawah yang kemudian menghasilkan panen sekian dan seterusnya, tentu dengan perkembangan jaman, tekanan penduduk semakin banyak dan industri pariwisata semakin banyak, dia akan mudah dikalahkan,” tegas dia, dikutip dari Info Publik, pada Rabu, 22 Mei 2024.

Manifestasi Tri Hita Karana

Dilansir dari disbud.bulelengkab.go.id Subak adalah sebuah organisasi yang dimiliki masyarakat petani di Bali yang mengatur manajemen irigasi sawah secara tradisional. Keberadaan Subak mewakili filosofi Tri Hita Karana (THK), yaitu filosofi Hindu Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.

Menurut I Gede Vibhuti Kumarananda, S.P., Penyuluh Pertanian Ahli Pertama Alsintan, Subak adalah sistem pengairan tradisional masyarakat Bali yang melibatkan hukum adat dengan karakteristik sosial, pertanian, dan keagamaan. Subak ditandai dengan semangat gotong royong dalam usaha untuk memperoleh air guna memenuhi kebutuhan air dalam pertanian padi dan palawija.

Dilansir dari maritim.go.id, sistem irigasi Subak juga merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di persawahan. Keunikan dari sistem irigasi Subak terlihat dari pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan secara rutin oleh anggota Subak, mulai dari tahapan awal pengolahan tanah hingga panen padi yang hasilnya disimpan di lumbung.

Beberapa penelitian oleh para ahli menunjukkan sistem irigasi Subak merupakan cerminan dari THK, sebuah filosofi yang sangat penting di Bali. Filosofi ini mengajarkan bahwa manusia dapat mencapai kebahagiaan, kedamaian, dan keselarasan lahir dan batin.

Dalam konsep THK, Parahyangan mengacu pada pemujaan terhadap pura-pura di kawasan Subak, Pawongan menandakan organisasi yang mengatur sistem irigasi Subak, dan Palemahan menunjukkan kepemilikan tanah atau wilayah di setiap Subak.

Konsep ini sangat relevan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang saat ini sangat populer dan menjadi pedoman dalam perencanaan pembangunan di berbagai sektor.

Eksistensi Subak

Situs warisan dunia yang diakui UNESCO ini kini menghadapi tantangan. Meskipun dalam konteks ritual dan kepercayaan budaya Subak yang erat dengan konsep THK masih sangat efektif, namun ada masalah yang muncul, yaitu degradasi lingkungan yang berpotensi mengganggu harmoni antara masyarakat dan lingkungan di beberapa Subak.

Ilustrasi Subak Bali. (indonesiakaya)

Dilansir dari jendela.kemdikbud.go.id, degradasi alan yang terjadi di subak akibat konversi lahan, alih profesi, ekonomi yang lemah, dan kurangnya minat generasi muda untuk melanjutkan warisan Subak.

Karakteristik khas Subak belakangan ini mulai tergerus oleh modernisasi, terutama dengan perubahan besar-besaran dalam gaya hidup masyarakat Bali, dari petani menjadi industri wisata. Salah satu tantangan utama yang dihadapi Subak adalah penurunan luas lahan sawah yang semakin sempit. Hal ini terjadi karena pembangunan villa yang merambah ke desa-desa tanpa mengantongi izin jelas.

Menyempitnya area sawah disebabkan juga oleh ulah broker yang menawarkan kontrak tanah jangka panjang sampai 30 tahun, sehingga secara perhitungan harga akan menjadi lumayan besar. Ini yang membuat pemilik sawah tergiur untuk mengontrakkan sawahnya. Ditambah, hasil padi yang tidak menentu karena air yang mengalir ke sawah tersebut tersumbat, sehingga petani hanya dapat menanam palawija.

Penyempitan area sawah juga disebabkan praktik broker yang menawarkan kontrak tanah jangka panjang hingga 30 tahun dengan harga yang cukup tinggi, menggoda pemilik sawah untuk mengontrakkan lahan mereka. Selain itu, hasil panen yang tidak menentu karena tersumbatnya aliran air ke sawah mengakibatkan petani hanya dapat menanam palawija.

Di sekitar area persawahan akan dibangun villa yang dibangun di pinggir-pinggirnya, yang menyebabkan area dalam menjadi terkurung. Sawah yang berada di tengah-tengah hanya menunggu nasibnya.

Selain itu, beberapa kawasan mengalami pelemahan karena perluasan fungsi lahan yang semakin luas dan meningkatnya alih profesi masyarakat.

Infrastruktur material komponen yang utama dalam Subak adalah jaringan irigasi. Melalui sistem Subak ini, para petani mendapatkan air sesuai dengan kesepakatan yang diatur melalui musyawarah masyarakat.

Namun, karena alih fungsi lahan, terutama di daerah perkotaan, lahan sawah terus berkurang menjadi masalah utama. Sehingga sebagian masyarakat khawatir tidak sanggup memenuhi kebutuhan mereka, yang pada akhirnya mendorong alih profesi dan kurangnya minat generasi muda untuk terlibat dalam bersubak.

Oleh karena itu, diperlukan pengetatan dalam perizinan villa. Broker properti yang menawarkan kontrak tanah jangka panjang hingga 30 tahun, dalam hal ini pemerintah sebaiknya membuat kebijakan untuk membatasi kontrak tanah maksimal 10 tahun yang dapat diperpanjang. Kebijakan ini bertujuan agar penyewa tidak dapat mengajukan HGB.

Jika penyewa dapat mengontrak 30 tahun atau lebih, pemegang HGB dapat mengajukan kredit bank dengan bank HGB sebagai agunan. Penduduk pendatang juga turut mempersempit area sawah, karena mereka kerap membangun rumah tidak permanen dengan cara menyewa tanah.

Maka dari itu, peran prajuru desa adat perlu mengatur para pendatang dengan mengeluarkan awig-awig yang mendukung penduduk lokal. Banyak lahan sawah yang mengalami masalah air karena pemiliknya, terutama generasi muda, kehilangan minat untuk bekerja di sawah. Dalam hal ini, peran pemerintah daerah sangat krusial.

Komitmen masyarakat dalam melestarikan lingkungan dan budaya Subak merupakan masalah utama. Oleh karena itu, eco-cultural tourism bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini. Eco-cultural tourism adalah konsep di mana aspek ekologi dan budaya suatu daerah digabungkan, menciptakan surge dalam wisata alam.