<p>Proses pemurnian emas di smelter. / Foto: Khushie Singh-Columbia.edu</p>
Industri
Yosi Winosa

Yosi Winosa

Author

JAKARTA - Awal tahun 2023, Presiden Joko Widodo menerima kunjungan pelaku industri jasa keuangan di Istana Kepresidenan. Di sana, ia berpesan ke perbankan agar mereka terus mendorong pertumbuhan ekonomi digital, investasi proyek hilirisasi dan ekspor oleh perusahaan-perusahaan nasional.

Bukan tanpa alasan, sektor perbankan merupakan salah satu penggerak perekonomian yang mampu melewati tahun penuh tantangan 2022, sebagaimana diamini Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Perbankan yang merupakan sektor dominan perekonomian Indonesia harus dijaga dengan baik. Beragam disrupsi dari luar seperti kenaikan harga komoditas, kenaikan suku bunga, inflasi dan kenaikan cost of fund akibat dari meletusnya perang Rusia Ukraina memang tak bisa dicegah. 

“Namun perbankan bisa mengendalikan kapal sendiri, Indonesia agar jangan sampai salah arah,” kata Sri Mulyani dikutip Selasa, 31 Januari 2022.

Ketua Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) sekaligus Presiden Direktur PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sunarso mengatakan pihaknya siap mendukung perintah presiden dalam hal hilirisasi industri. Menurut Presiden, hilirisasi industri yang berbasis ekstraksi sumber daya alam tidak bisa berhenti dan harus terus dilanjutkan.

 "Hilirisasi itu bagian dari point of no return. Tadi ditegaskan lagi oleh Bapak Presiden bahwa hilirisasi ini tidak bisa berhenti, tidak bisa kembali, maka industri perbankan commited untuk mendukung proses hilirisasi dalam rangka agar seluruh rangkaian nilai tambahnya dari proses itu dinikmati oleh masyarakat Indonesia," kata Sunarso.

Perkuat Suplai Dolar AS

Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menilai saat ini Indonesia tengah mengalami kekeringan likuiditas valas di tengah tren kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed.

Padahal jika menilik kinerja neraca perdagangan selama 32 bulan terakhir, Indonesia terus mengalami surplus (net ekspor). Menurutnya akar masalah dari hal ini adalah dukungan perbankan nasional untuk membiayai proyek-proyek pembangunan di dalam negeri termasuk hilirisasi industri masih lemah. 

Alhasil, perbankan asing yang mayoritas membiayai sektor itu dengan dana-dana yang mereka miliki. Pengusaha nasional lebih kepincut ke bank asing lantaran nilai ekuitas yang disyaratkan kecil, hanya 10% serta dengan bunga yang kecil. Sementara bank domestik baru mau masuk jika nilai ekuitas minimal sebesar 30-40%.

“Wajar saja ketika perusahaan tersebut memilih bank asing untuk menaruh dolarnya. Ketika perusahaannya sudah berproduksi dan mulai melakukan ekspor, mereka mulai membayarkan kewajibannya ke perbankan di asing di luar negeri, baik cicilan pokok, bunga dan sebagainya,” kata Bahlil.

Menurut pemerintah, agar devisa hasil ekspor tidak melulu lari ke luar negeri, solusinya perbankan domestik harus mau membiayai berbagai proyek yang menjadi fokus investasi mereka. Mengingat juga keuntungan dari hasil investasi di sektor hiliriasi tidak lama, hanya membutuhkan sekitar 5-6 tahun.

Langkah lain yang juga ditempuh pemerintah adalah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2019 tentang devisa hasil ekspor (DHE). Poin utama revisi beleid ini adalah mewajibkan DHE disimpan di sistem keuangan dalam negeri selama 3 bulan.

Memberatkan

Sementara Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menilai salah satu alasan bank nasional enggan terjun ke hilirisasi adalah biaya hilirisasi komoditas dari bahan baku hingga menjadi barang jadi  yang sangat besar.  Hilirisasi membutuhkan investasi sekitar Rp5 triliun hingga belasan triliun.

Penyebab kedua adalah aspek ESG. Mengingat mayoritas smelter di Indonesia saat ini masih menggunakan pembangkit listrik batu bara, hal ini dilematis bagi bank lokal. Bank asing pun hanya mau memberikan dana murah secara terbatas pada smelter produk, tidak sampai pada pembangkit listrik batu bara.

Lebih lanjut, perbankan juga membutuhkan pasokan dolar yang sangat besar karena mayoritas eksportir membutuhkan pinjaman dalam bentuk dolar AS. 

Sementara proyek hilirisasi lazimnya memakan jangka waktu yang lama hingga mencapai pengembalian modal. "Menjadi catatan saja, investor pun kalau full lokal, masih bertanya-tanya, untuk investasi sebesar itu diperlukan jangka waktu yang lama untuk return capital-nya,” tambah Jahja.