<p>Ilustrasi pertambangan batu bara. / Pixabay</p>
Nasional & Dunia

Dibanding Batu Bara, EBT Ternyata Ciptakan Lapangan Kerja Lebih Banyak Lho..

  • Penelitian dari McKinsey & Company melaporkan bahwa energi baru terbarukan (EBT) terbukti tiga kali lebih banyak menciptakan lapangan kerja daripada batu bara di setiap mata rantainya.

Nasional & Dunia

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Penelitian dari McKinsey & Company melaporkan bahwa energi baru terbarukan (EBT) terbukti tiga kali lebih banyak menciptakan lapangan kerja daripada batu bara di setiap mata rantainya.

Keunggulan ini tentunya di luar dari dampak lingkungan EBT yang jauh lebih rendah dari sumber energi lain seperti fosil.

“Inisiatif kebijakan berkelanjutan tidak hanya signifikan dalam pengurangan emisi global, tetapi juga menciptakan banyak lapangan kerja. Terutama pada masa pandemi di mana orang banyak kehilangan pekerjaan,” menukil dari laporan riset McKinsey & Company, Jumat, 13 November 2020.

Analisis McKinsey & Company menunjukkan, dengan investasi sebesar 75 miliar euro sampai 150 miliar euro akan menghasilkan 180 miliar euro hingga 350 miliar euro dari nilai tambah bruto.

Selain itu, sektor energi bersih juga berpotensi membuat hingga tiga juta pekerjaan baru sekaligus mendukung 15%-30% pengurangan karbon emisi pada 2030.

Panel Surya BUMN Bukit Asam dipasang di Bandara Soekarno-Hatta milik Angkasa Pura II / Twitter @AngkasaPura_2
Intervensi Pemerintah

Dalam kesempatan berbeda, Berly Martawardaya, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan pemerintah Indonesia seharusnya lebih memprioritaskan pengembangan EBT

“Pemerintah perlu merevisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan target angka yang lebih ambisius,” kata Berly dalam diskusi virtual, Jumat, 13 November 2020.

Dibandingkan dengan negara tetangga, Thailand, Filipina dan Vietnam telah lebih dulu membuktikan bahwa meningkatkan kapasitas terpasang EBT sebesar 5-20 kali dapat dilakukan dalam 5 tahun.

Apalagi, biaya tenaga surya dan angin terus menurun seiring dengan kemajuan teknologi sehingga meningkatkan efisiensi.

EBT dalam Krisis Ekonomi

Dalam catatan Greenpeace, jika belajar dari krisis ekonomi 2008, ada tiga hal yang bisa dipelajari dan diaplikasikan sebagai respons krisis pandemi COVID-19. 

Pertama, stimulus jangka pendek untuk transformasi menuju ekonomi yang berkelanjutan. Seperti telah dilakukan banyak negara di Asia Timur dan Eropa. 

Kedua, kebijakan jangka menengah dan panjang untuk pemulihan hijau (green recovery) harus aplikatif dan terjangkau. Fokus pada energi terbarukan dan transportasi publik serta dilakukan multiyears (tidak hanya pada tahun krisis). 

Ketiga, komitmen untuk transformasi menuju ekonomi rendah karbon harus terintegrasi dengan strategi reindustrialisasi dan investasi. (SKO)