Dibayangi Kepailitan, Garuda Indonesia Tempuh Opsi Penyelamatan Perlindungan Hukum Restrukturisasi Kredit
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akhirnya memilih salah satu opsi penyelamatan yang disodorkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan akan menempuh upaya restrukturisasi kredit melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Korporasi
JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akhirnya memilih salah satu opsi penyelamatan yang disodorkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan akan menempuh upaya restrukturisasi kredit melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Opsi ini meninggalkan risiko pailit bagi emiten pelat merah tersebut. Menanggapi potensi tersebut, Irfan mengatakan bakal menempuh negosiasi untuk meyakinkan kreditur bahwa Garuda Indonesia mampu membayar utang Rp70 triliun.
“Kami akan meyakinkan kreditur jika tagihan itu, mampu kami lunasi dengan bisnis Garuda Indonesia yang sustain,” kata Irfan dalam rapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa, 22 Juni 2021.
Garuda Indonesia akan mengirimkan proposal kepada kreditur. Uaii mengirimkan proposal pembayaran utang Garuda punya waktu 270 hari untuk mencapai kesepakatan.
Garuda Indonesia dapat dikatakan pailit bila sudah masuk tahap PKPU dan tidak mampu meyakinkan para kreditur dalam jangka waktu tersebut.
“Artinya ada risiko untuk bisa menjadi pailit bila masuk ke PKPU,” ujar Irfan.
Konversi Utang
Dalam proposal yang dibawa emiten pelat merah tersebut, Irfan menawarkan negosiasi berupa konversi utang menjadi saham. Namun, sebelum ditawarkan ke kreditur, Garuda Indonesia mesti mengantongi izin dari pemegang saham eksisting.
Untuk diketahui, sebanyak 60,54% saham Garuda Indonesia dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. Lalu, PT Trans Airways milik konglomerat Chairul Tanjung menguasai 28,27% saham GIAA dan 11,19% saham lainnya dipegang oleh investor publik.
Konversi utang menjadi saham ini tidak lepas dari nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang fluktuatif. Pasalnya, sebagian besar utang Garuda Indonesia ditarik dalam mata uang dolar AS.
Menurut laporan keuangan terakhir Garuda Indonesia, rata-rata bunga liabilitas jangka pendek dalam dolar AS pada kuartal III-2020 memeng berada di kisaran yang rendah, yakni 2,01%-5,50%. Namun, jumlahnya membengkak bila dikonversi menjadi rupiah, yakni menjadi 8,25%-10,50%.
Strategi Anyar
Meski dihimpit kondisi pasar keuangan global, Irfan tetap yakin bisa menempuh restrukturisasi kredit melalui PKPU. Dirinya menyebut telah memiliki model bisnis baru yang bisa mengerek kinerja keuangan perseroan dalam jangka menengah.
“Garuda telah memiliki rencana bisnis model baru untuk tahun 2022-2026, untuk menjembatani kondisi saat ini. Rencana strategis yang dilakukan secara bertahap pada periode Juni-Desember 2021,” ucap Irfan.
Adapun target yang dipatok manajemen dalam jangka tersebut adalah mencatatkan earning before tax, depreciation, and amortization (EBITDA) di zona positif mulai 2022.
Dalam rencana bisnis baru, Garuda Indonesia bakal memaksimalkan rute paling menguntungkan di dalam negeri. Lalu, efisiensi tenaga kerja serta jumlah armada yang optimal.
Jumlah armada Garuda Indonesia bakal dipangkas menjadi 66 unit saja pada 2022. Sebelumnya, emiten penerbangan itu memiliki 142 armada hingga awal 2020.
Garuda Indonesia dibantu hingga lima konsultan sekaligus dalam merumuskan strategi penyelamatan ini. Lima penasihat keuangan itu antara lain McKinsey & Company (business advisor), PT Mandiri Sekuritas (lead advisor), Guggenheim Partners (financial advisor), dan legal advisor Cleary Gottlieb, dan Assegaf Hamzah & Partners. (RCS)