Dibutuhkan Dana Rp307,8 T Pertahun untuk Tangani Perubahan Iklim, Dari Mana Duitnya?
- Sementara itu, total pendanaan mitigasi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) rata-rata sebesar Rp43,57 triliun pertahun.
Makroekonomi
BOGOR - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mencatat, dibutuhkan dana sekitar Rp4.000 triliun pada rentang waktu 2018-2030 atau setara dengan Rp307,8 triliun pertahun.
Sementara itu, total pendanaan mitigasi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) rata-rata sebesar Rp43,57 triliun pertahun.
Dengan demikian, APBN baru bisa memenuhi sekitar 14% dari kebutuhan pendanaan untuk memitigasi perubahan iklim yang tidak hanya mengancam Indonesia, tapi juga di skala global.
Oleh karenanya, pemerintah terus mendorong inovasi pembiayaan kreatif untuk aksi perubahan iklim, termasuk melibatkan pihak swasta.
- Inilah Keran Pertumbuhan Premi Industri Asuransi Jiwa
- Astra (ASII) Fokus Ekspansi Kendaraan Hibrida, Bagaimana Prospek Sahamnya?
- Banyak Penolakan, Airlangga: Manfaat Tapera Perlu Dikaji Ulang
Sumber Dana
Dian Lestari, Direktur Pinjaman dan Hibah Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menyampaikan skema pembiayaan dan hibah dalam rangka mendukung penanganan perubahan iklim di Indonesia.
Ada beberapa instrumen pembiayaan yang didorong oleh Kemenkeu untuk memenuhi kebutuhan dana mitigasi ini, di antara lain pinjaman dan hibah, SDG Bond dan Blue Bond, Green Sukuk, Public-Private Partnership (PPP), serta Penjaminan dan Dukungan Pemerintah Lainnya.
A. Pinjaman dan Hibah
1. Pinjaman Luar Negeri
a. Sumber Bilateral dan Multilateral
Pinjaman bilateral melibatkan kesepakatan antarnegara sementara pinjaman multilateral melibatkan lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Islamic Development Bank (IsDB).
Pinjaman ini dapat digunakan untuk pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pengelolaan portofolio utang, serta membiayai kegiatan spesifik seperti transportasi, energi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
b. Pinjaman Swasta
Pinjaman dari sektor swasta juga berperan penting dalam mendanai proyek-proyek besar, khususnya di sektor transportasi, energi, dan teknologi informasi.
Keuntungan utama dari pinjaman swasta adalah fleksibilitas dan kemampuan untuk mendanai proyek-proyek inovatif seperti pertahanan dan keamanan, sistem intelligence, dan teknologi informasi yang mungkin tidak sesuai dengan kriteria lembaga keuangan multilateral.
c. Mekanisme Penerusan Pinjaman
Pinjaman yang diterima pemerintah pusat dapat diteruspinjamkan atau diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga memastikan dana tersebut langsung digunakan di lapangan untuk proyek-proyek terkait perubahan iklim.
2. Instrumen Hibah untuk Penanganan Perubahan Iklim
Selain pinjaman, hibah juga merupakan instrumen penting dalam mendukung penanganan perubahan iklim.
Hibah ini dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, dengan bentuk yang bervariasi dari uang tunai hingga barang dan jasa. Berikut adalah jenis-jenis hibah yang tersedia:
a. Hibah Langsung dan Terencana
Dana hibah ini direncanakan untuk membiayai proyek-proyek tertentu seperti pengelolaan lingkungan dan pengembangan teknologi informasi.
b. Sumber Hibah
Termasuk lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB) dan World Bank yang mendanai proyek-proyek seperti Coral Reef Rehabilitation And Management Program (Coremap-CTI).
B. SDG Bond dan Blue Bond
1. Latar Belakang Penerbitan
Gap pembiayaan untuk pencapaian target SDGs masih sangat besar, yaitu mencapai Rp27.589 triliun atau setara dengan sekitar USS$1.943 miliar.
Pemerintah Indonesia telah berhasil menerbitkan instrumen pembiayaan tematik sebelumnya, yaitu Global Green Sukuk. Kesuksesan ini menjadi dasar bagi perluasan cakupan pembiayaan dengan menambahkan proyek sosial dalam portofolio tematik.
Dengan meningkatnya dana kelolaan oleh fund manager yang harus diinvestasikan pada instrumen keuangan berkelanjutan, potensi permintaan dari investor untuk penempatan dana di obligasi tematik terus bertumbuh.
Salah satu langkah penting yang diambil adalah memperkuat persepsi internasional terhadap komitmen Indonesia dalam mencapai tujuan berkelanjutan.
Dengan melakukan ini, Indonesia tidak hanya memperluas basis investor Surat Berharga Negara tetapi juga menarik socially responsible investors. Peningkatan persepsi internasional ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak investasi masuk ke dalam negeri untuk proyek-proyek yang berkelanjutan.
2. Ekosistem Biru Indonesia
Indonesia, sebagai negara kepulauan, memiliki potensi besar dalam sektor kelautan. Namun, potensi ini masih belum dimanfaatkan sepenuhnya.
a. Potensi Sektor Kelautan dalam NDC
Dalam Nationally Determined Contributions (NDC) yang diajukan Indonesia, sektor kelautan memegang peranan penting. Salah satu program kunci yang diusulkan adalah peningkatan ketahanan ekosistem dan lanskap, termasuk program blue carbon yang berfokus pada penyerapan karbon melalui ekosistem laut.
Langkah ini tidak hanya akan membantu mitigasi perubahan iklim tetapi juga memanfaatkan potensi ekonomi dari sektor kelautan yang berkelanjutan.
3. Penerbitan SDG Bond
Pada tahun 2021, Pemerintah Indonesia berhasil menerbitkan SDG Bond dalam mata uang Euro dengan nilai sebesar 500 juta Euro. Obligasi ini memiliki tenor 12 tahun dengan yield sebesar 1,351%.
Pada tahun 2022 dan 2023, seri SDG Bond yang diterbitkan adalah FRSDG001 dengan jumlah penerbitan masing-masing Rp3,26 triliun dan Rp7,25 triliun. Obligasi ini memiliki tenor 8 tahun dengan kupon sebesar 7,375%.
C. Green Sukuk
Green Sukuk adalah salah satu instrumen keuangan berbasis syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah untuk mendukung komitmen Indonesia dalam memerangi perubahan iklim.
Green Sukuk diterbitkan untuk membiayai proyek-proyek hijau yang ramah lingkungan, mendukung komitmen dalam mengatasi dampak perubahan iklim, dan membantu pembiayaan defisit APBN.
Baca Juga: Mengenal CBT dan Perannya dalam Memitigasi Perubahan Iklim di Indonesia Lewat Kebijakan Fiskal
1. Perkembangan Green Sukuk di Indonesia
Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang menerbitkan Green Sukuk berdaulat pada tahun 2018.
Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan menjadi pionir di pasar keuangan Islam global.
Hingga kini, Indonesia telah menerbitkan beberapa Green Sukuk dengan nilai yang signifikan, menarik minat investor domestik dan internasional.
Penerbitan Green Sukuk di Indonesia digunakan untuk mendanai berbagai proyek lingkungan, termasuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, proyek efisiensi energi, dan pelestarian hutan.
Dalam periode ini, pemerintah berhasil mengumpulkan dana yang besar untuk proyek-proyek tersebut, membuktikan bahwa instrumen ini efektif dalam menarik investasi untuk sektor hijau.
2. Manfaat Green Sukuk
a. Pembiayaan Proyek Ramah Lingkungan: Green Sukuk membantu mengumpulkan dana untuk proyek-proyek yang berdampak positif terhadap lingkungan, seperti energi terbarukan dan infrastruktur hijau.
b. Diversifikasi Portofolio Investasi: Bagi investor, Green Sukuk menawarkan peluang untuk mendiversifikasi portofolio mereka dengan investasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan berkelanjutan.
c. Reputasi dan Keberlanjutan: Bagi pemerintah dan perusahaan, penerbitan Green Sukuk meningkatkan reputasi sebagai entitas yang peduli terhadap lingkungan dan berkomitmen terhadap tujuan keberlanjutan.
d. Pengurangan Emisi Karbon: Investasi dalam proyek energi terbarukan melalui Green Sukuk membantu mengurangi emisi karbon dan mendukung target pengurangan emisi gas rumah kaca.
3. Tantangan dalam Penerbitan Green Sukuk
Meskipun memiliki banyak manfaat, penerbitan Green Sukuk juga menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
a. Kompleksitas Regulasi: Proses penerbitan Green Sukuk memerlukan kepatuhan terhadap regulasi yang kompleks, baik dari sisi syariah maupun lingkungan. Hal ini dapat memperlambat proses penerbitan dan meningkatkan biaya.
b. Keterbatasan Proyek yang Layak: Tidak semua proyek dapat dibiayai melalui Green Sukuk. Hanya proyek yang memenuhi kriteria lingkungan yang ketat yang dapat dipertimbangkan, sehingga terdapat keterbatasan dalam jumlah proyek yang layak.
c. Kesadaran dan Edukasi: Kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang Green Sukuk di kalangan investor dan penerbit potensial dapat menjadi hambatan dalam pengembangan pasar ini.
4. Masa Depan Green Sukuk di Indonesia
Masa depan Green Sukuk di Indonesia tampak cerah dengan meningkatnya minat dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, investor institusional, dan masyarakat.
Beberapa langkah strategis yang dapat mendukung perkembangan lebih lanjut dari Green Sukuk di Indonesia antara lain:
a. Peningkatan Kesadaran dan Edukasi: Pemerintah dan lembaga keuangan perlu meningkatkan kesadaran dan edukasi tentang manfaat dan mekanisme Green Sukuk kepada calon penerbit dan investor.
b. Pengembangan Regulasi yang Mendukung: Pengembangan regulasi yang mendukung dan simplifikasi proses penerbitan dapat membantu mempercepat dan mempermudah penerbitan Green Sukuk.
c. Kolaborasi Internasional: Kolaborasi dengan lembaga keuangan internasional dan negara-negara lain dapat membantu memperluas pasar Green Sukuk dan menarik lebih banyak investasi.
d. Inovasi Produk Keuangan Hijau:
Pengembangan produk keuangan hijau lainnya yang sejalan dengan Green Sukuk dapat memberikan lebih banyak pilihan bagi investor dan mendukung ekosistem keuangan berkelanjutan.
D. Public-Private Partnership (PPP)
Dalam rangka memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur yang besar, kerja sama antara pemerintah dan badan usaha atau yang dikenal sebagai Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) menjadi solusi alternatif yang strategis.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, total kebutuhan investasi infrastruktur diperkirakan mencapai Rp6.445 triliun.
Angka ini tidak dapat dipenuhi hanya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga keterlibatan sektor swasta menjadi sangat penting.
1. Proporsi Kebutuhan Investasi Infrastruktur
Dalam periode 2020-2024, kebutuhan investasi infrastruktur sebesar Rp6.445 triliun ini dibagi ke dalam tiga sumber utama:
a. Swasta: Rp2.707 triliun (42%)
b. BUMN: Rp1.353 triliun (21%)
c. Pemerintah: Rp2.385 triliun (37%)
Dengan alokasi ini, jelas bahwa sektor swasta memainkan peran krusial dalam pembiayaan infrastruktur di Indonesia.
Pemerintah terus berupaya menarik investasi sektor swasta melalui kebijakan dan insentif fiskal, serta instrumen pembiayaan inovatif yang meningkatkan akses ke keuangan global.
2. Skema KPBU: Pembiayaan Kreatif untuk Infrastruktur
KPBU menyediakan skema pembiayaan yang memungkinkan penggunaan sumber daya badan usaha secara sebagian atau seluruhnya, dengan memperhatikan pembagian risiko antara para pihak yang terlibat.
Skema ini mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya dan mencakup beberapa komponen penting:
a. Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK):
Institusi/lembaga yang bertindak sebagai wakil pemerintah dalam skema KPBU, seperti Kementerian/Lembaga, kepala daerah, BUMN/BUMD.
b. Badan Usaha Pelaksana: Special Purpose Vehicle (SPV) atau Project Company, yang merupakan badan hukum terpisah dari para sponsornya (investor ekuitas).
c. Dukungan Kelayakan (Viability Gap Fund - VGF): Kontribusi fiskal berbentuk tunai kepada proyek KPBU atas sebagian biaya konstruksi (maksimal 49%) untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek dan mewujudkan tarif layanan yang terjangkau oleh masyarakat.
d. Penjaminan Infrastruktur: Penjaminan yang diberikan oleh pemerintah untuk mengatasi risiko yang mungkin terjadi selama masa persiapan, konstruksi, dan operasional proyek.
3. Fokus Sektor dan Peran Kementerian Keuangan
KPBU berfokus pada beberapa sektor penting, antara lain:
a. Penyediaan air minum
b. Kesehatan
c. Transportasi
d. Pengelolaan sampah
e. Perumahan
f. Jaringan gas
Kementerian Keuangan memainkan peran penting dalam mendukung pelaksanaan KPBU melalui fasilitas fiskal yang membantu PJPK dalam meningkatkan efektivitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi proyek.
Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah Project Development Facility (PDF), yang menyiapkan business case komprehensif agar proyek tidak hanya layak secara finansial tetapi juga dapat menarik pembiayaan (bankable).
4. Mekanisme Pembayaran dan Penjaminan Pemerintah
Dalam skema KPBU, terdapat dua mekanisme utama pengembalian investasi:
a. Availability Payment (AP): Pembayaran secara berkala oleh PJPK kepada badan usaha pelaksana atas tersedianya layanan infrastruktur sesuai dengan kualitas dan/atau kriteria yang ditentukan dalam perjanjian KPBU selama masa operasi.
b. Penjaminan Infrastruktur: Pemerintah memberikan penjaminan untuk mengatasi risiko infrastruktur yang dapat menghambat pelaksanaan proyek.
5. Inisiatif Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola
Pemerintah Indonesia juga berupaya mengintegrasikan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG) dalam penyediaan fasilitas dan dukungan untuk pembiayaan infrastruktur.
Inisiatif ini diluncurkan sebagai bagian dari Side Event G20 Summit pada 12 November 2022, dengan dukungan dari UNDP dan Bank Dunia.
Kerangka kerja ESG mencakup indikator dan standar LST, perangkat analisis risiko LST, serta aktivitas mitigasi risiko untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan memanfaatkan investasi yang lebih hijau dan berkelanjutan.
E. Penjaminan dan Dukungan Pemerintah Lainnya
Dian menyampaikan, pemerintah Indonesia terus memperkuat komitmennya dalam mengurangi emisi karbon dan mendukung transisi energi menuju sumber energi yang lebih bersih.
Hal ini ditandai dengan berbagai inisiatif dan program yang diarahkan untuk mencapai target pengurangan emisi yang ambisius pada tahun 2030, serta dukungan fiskal yang signifikan untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung.
1. Komitmen dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC)
Pada tahun 2022, Pemerintah Indonesia telah mengajukan Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Dalam dokumen ini, Indonesia menetapkan target pengurangan emisi yang lebih ambisius hingga tahun 2030. Terdapat dua skenario pengurangan emisi:
a. Skenario Tanpa Syarat (Unconditional Scenario): Pengurangan emisi sebesar 31,89% dari tingkat emisi Business as Usual (BaU) pada tahun 2030 dengan upaya sendiri.
b. Skenario Bersyarat (Conditional Scenario): Pengurangan emisi sebesar 43,20% dari tingkat emisi BaU pada tahun 2030 dengan dukungan internasional.
2. Upaya Dekarbonisasi dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT)
PLN sebagai perusahaan listrik negara, menunjukkan inisiatif yang kuat dalam mendekarbonisasi pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan meningkatkan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Beberapa langkah utama yang telah diambil antara lain:
a. Pembatalan Pembangunan PLTU Baru: Pembatalan 13,3 GW PLTU baru yang sebelumnya direncanakan dalam RUPTL 2019-2028.
b. Pengembangan Pembangkit EBT: Merencanakan dan mengembangkan 21 GW pembangkit EBT dalam "The Greenest RUPTL".
c. Pembatalan PPA PLTU: Pembatalan Power Purchase Agreement (PPA) untuk 1,3 GW PLTU dalam pipeline the greenest RUPTL 2021-2030.
d. Program Dedieselisasi: Menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit EBT sebesar 1 GW.
e. Implementasi Carbon Trading: Implementasi perdagangan karbon di 55 PLTU.
Dari berbagai inisiatif ini, PLN telah berhasil mengurangi dan menghindari emisi karbon kumulatif sebesar 3,7 miliar ton CO2 hingga tahun 2030.
Proyeksi bauran energi untuk tahun 2030 menunjukkan bahwa energi terbarukan akan menyumbang 26,0%, batubara 58,6%, gas 15,0%, dan BBM 0,4%.
Pada tahun 2033, bauran energi terbarukan diharapkan meningkat menjadi 33,9%, batubara menurun menjadi 50,6%, gas 15,1%, dan BBM tetap di 0,4%.
- Misteri Tambang Busang Kalimantan (Bagian Terakhir): De Guzman Masih Hidup?
- Indonesia Targetkan 15 Juta Kendaraan Listrik di 2030, Nikel Jadi Andalan
- Saham Raksasa Telekomunikasi Tertekan, Apakah Efek Starlink?
3. Dukungan Fiskal Pemerintah
Untuk mendukung pengembangan energi terbarukan dan transisi energi, Pemerintah Indonesia memberikan berbagai bentuk dukungan fiskal melalui penjaminan pinjaman dan proyek. Beberapa bentuk dukungan fiskal yang telah diberikan antara lain:
a. Penjaminan Pinjaman Langsung BUMN:
Penjaminan atas pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional kepada BUMN, seperti PLN dan PT Geo Dipa Energi.
b. Penjaminan Proyek Pengembangan Energi:
Penjaminan kelayakan usaha untuk proyek-proyek energi terbarukan, termasuk proyek PLTP dan PLTA.
c. Penjaminan Proyek 35 GW: Jaminan kelayakan usaha untuk proyek PLTU dan transmisi, dengan progres fisik yang saat ini sebagian besar sudah beroperasi atau dalam tahap konstruksi.
Pada proyek FTP-1 dan FTP-2, pemerintah telah menerbitkan berbagai surat jaminan, dan sebagian besar proyek telah beroperasi penuh. Total nilai investasi yang telah dilakukan hingga triwulan IV 2023 mencapai US$3,905 miliar.
4. Dukungan untuk Pengembangan Panas Bumi
Salah satu sektor energi terbarukan yang mendapatkan perhatian khusus adalah energi panas bumi. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menyediakan fasilitas dana PISP untuk mendukung eksplorasi dan pengembangan panas bumi. Beberapa instrumen dukungan yang diberikan termasuk:
a. Government Drilling: Penyediaan dana untuk kegiatan eksplorasi panas bumi di wilayah milik pemerintah dengan penanggungan risiko eksplorasi 100%.
b. SOE Drilling: Penyediaan pembiayaan eksplorasi di wilayah milik BUMN dengan penanggungan risiko maksimal 50%.
c. Private Drilling: Pembiayaan eksplorasi untuk wilayah milik swasta dengan skema risk sharing dan derisking.