<p>Ilustrasi  / Foto: Sanyangtaxconsultants.com</p>
Nasional

Dihantam Kebijakan Tarif Cukai Rokok, Industri Hasil Tembakau Kian Babak Belur

  • Tahun ini merupakan masa kelam bagi petani tembakau dan cengkih lantaran penurunan serapan bahan baku sebesar 30%-40%. Penurunan serapan ini lagi-lagi dikarenakan adanya penurunan volume produksi dari pabrikan.

Nasional
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Beredar kabar bahwa pemerintah hendak menaikkan tarif cukai rokok sebesar 17%-19% untuk 2021. Kabar ini dengan cepat bergulir menjadi isu yang berdampak negatif kepada pelaku usaha di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT).

Menanggapi isu yang beredar ini, Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Azami Mohammad merespons dengan meminta pemerintah agar tidak menaikkan tarif cukai rokok di tahun 2021.

Pemerintah, sambung dia, perlu mempertimbangkan kondisi industri yang saat ini tertekan akibat tarif cukai yang terlalu tinggi di 2020 serta dampak COVID-19.

Azami mengatakan, pada masa pandemi sektor IHT telah mengalami kontraksi cukup dalam sebesar 10,84% secara tahunan. Bahkan pada kuartal kedua, IHT mengalami kontraksi 17,59% akibat menurunnya produksi rokok.

“Kondisi IHT saat ini sedang tertekan. Kenaikan tarif cukai sebesar 23% dan HJE sebesar 35% membuat rokok semakin tidak terjangkau oleh konsumen. Produksi dan volume penjualan menjadi turun. Ditambah COVID-19 memukul telak daya beli masyarakat. Ibarat jatuh tertimpa tangga pula,” ujar Azami di Jakarta, Sabtu (24/10).

Padahal, sektor IHT memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara. Cukai rokok menyumbang hingga 97% dari total keseluruhan penerimaan cukai serta menyumbang hingga 11% dari total APBN.

Bahkan di saat penerimaan negara tersendat akibat dampak COVID-19, realisasi penerimaan cukai sepanjang Januari-September 2020 tetap tumbuh 7,24% year on year (yoy).

Namun kontribusi yang besar ini berpotensi hilang jika kebijakan terkait tarif cukai terus-menerus diberlakukan eksesif setiap tahunnya.

Ilustrasi perkebunan tembakau / Foto: Balittas.litbang.pertanian.go.id
Angka Pengangguran Melonjak

Azami mengungkapkan, kenaikan tarif cukai untuk menambah penerimaan hampir tidak mungkin terjadi. Pasalnya, kata dia, pasti akan ada titik optimum di mana industri tidak sanggup lagi membayar cukai atau mengalami diminishing return (penurunan pendapatan).

“Pemerintah harus bijak, jangan terus-terusan ditekan dengan kebijakan tarif cukai yang eksesif. Nantinya jika sektor IHT tumbang, maka potensi lost penerimaan negara sangat besar. Sekarang saja setidaknya butuh waktu sekitar 2 tahunan untuk bisa pulih dari krisis akibat kenaikan cukai yang eksesif dan pandemi COVID-19,” tandas Azami.

Adapun sektor IHT yang paling rentan terdampak dalam kebijakan pemerintah ini adalah petani dan buruh di sektor hulu.

Menurut Azami, tahun ini merupakan masa kelam bagi petani tembakau dan cengkih lantaran penurunan serapan bahan baku sebesar 30%-40%. Penurunan serapan ini lagi-lagi dikarenakan adanya penurunan volume produksi dari pabrikan.

Di sisi ketenagakerjaan, berdasarkan hasil survei dari para peneliti Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung memperlihatkan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di Jawa Timur.

Di wilayah Pandaan sudah terjadi 851 PHK, lalu di Kediri terdapat 1.327 buruh pabrik yang terkena PHK. Data ini belum mencakup wilayah-wilayah lain yang menjadi sentra produksi rokok di Indonesia. (SKO)