Lanskap gedung bertingkat dan perkantoran di Jakarta, Senin, 1 November 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Industri

Dihantui Tapering Off, Perbankan Mesti Waspada Lonjakan Kredit Bermasalah

  • Ada potensi kenaikan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) hingga capital outflow besar-besaran bila BI tidak cermat melihat pergerakan arah kebijakan The Fed.
Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA - Daya beli masyarakat di Amerika Serikat (AS) yang meningkat menjadi ancaman bagi pemulihan ekonomi di dalam negeri. Indeks Harga Konsumen (IHK) di Negeri Paman Sam yang menembus 6,2% year on year (yoy) pada Oktober 2021 semakin membuka peluang The Fed mengerek suku bunga acuan. 

Pengamat Perbankan Paul Sutaryono mengatakan geliat ekonomi di AS harus semakin diwaspadai oleh Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter tertinggi. Pasalnya, ada potensi kenaikan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) hingga capital outflow besar-besaran bila BI tidak cermat melihat pergerakan arah kebijakan The Fed.

Belum lagi ada laporan penjualan ritel di AS pada Oktober 2021 yang menembus 1,7% month to month (mom) pada Oktober 2021. Capaian itu lebih tinggi daripada bulan sebelumnya yang hanya 0,8% mom atau konsensus pasar yang sebesar 1,2% mom.  

Paul mendorong otoritas moneter untuk menaikkan BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) segera setelah The Fed menaikan suku bunga acuannya . Dengan demikian, hal itu akan semakin mengurangi dampak dari tapering off The Fed.

“Saat yang tepat bagi BI untuk mengerek suku bunga acuan adalah segera setelah The Fed menaikkan suku bunga acuan AS,” ujar Paul kepada TrenAsia.com Rabu, 17 November 2021.

Di sisi lain, Paul menyadari mengerek suku bunga acuan dapat menjadi tantangan bagi penyaluran kredit perbankan. Maka dari itu, Paul bilang perbankan perlu mewaspadai lonjakan NPL dengan selalu memperkuat pencadangan. 

“Bank wajib bertindak lebih prudent dalam mengucurkan kredit pada saat ini. Hal itu bertujuan untuk mencegah kenaikan NPL,” kata Paul.

NPL Merangkak Naik

Kenaikan NPL ini bahkan sudah terjadi pada kuartal III-2021. Berdasarkan data yang dihimpun TrenAsia.com, sejumlah bank besar melaporkan kenaikan NPL pada sembilan bulan pertama tahun ini.

Kenaikan NPL terbesar dialami oleh PT Bank Central Asia Tbk, yakni mencapai 0,43 basis poin (bps). Hal ini membuat NPL gross emiten bersandi saham BBCA ini parkir di level 3,81% pada kuartal III-2021.

Dua bank pelat merah, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) juga mengalami masalah serupa. NPL gross di BNI naik 0,25 bps menjadi 3,81% pada kuartal III-2021.

Sementara kenaikan NPL gross di BRI mencapai 0,16 basis poin menjadi 3,28% per 30 September 2021. Nasib berbeda dialami PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) yang mengalami pengurangan NPL sebesar 0,44 basis poin menjadi 3,06% pada kuartal III-2021.

Lebih lanjut, Paul mengatakan perbankan, mau tidak mau, harus meningkatkan biaya dana (cost of fund/CoF) untuk menjaga laju pertumbuhan kredit. Meningkatkan CoF disebut menjadi cara yang ampuh untuk meredam suku bunga dasar kredit (SBDK) saat BI Rate sedang meningkat.

“Karena suku bunga acuan BI mungkin mengalami kenaikan sehingga dapat meningkatkan biaya dana bagi bank. Hal itu dapat mengerem penurunan suku bunga kredit,” jelas Paul.

Penyaluran kredit baru pada kuartal III-2021 ini menunjukan perburukan sebagai imbas dari kenaikan kasus COVID-19 dan restriksi mobilitas. Bank Indonesia (BI) melaporkan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pada kuartal III-2021 tumbuh 20,9% atau lebih rendah dua kali lipat dibandingkan kuartal II-2021 yang menyentuh 53,9%.

Seiring dengan kasus COVID-19 yang semakin terkendali, Paul melihat peluang perbaikan penyaluran kredit bisa semakin terjaga mulai kuartal IV-2021. Dirinya pun melihat sistem keuangan Indonesia sebetulnya sudah lebih siap menghadapi tapering off  dan kenaikan suku bunga acuan The Fed pada 2022.