<p>Sumber: IDN Times.</p>
Nasional

Dilema BPJS Kesehatan dan Tantangan Defisit Anggaran

  • Berdasarkan data BPJS Kesehatan, klaim yang diajukan terus melonjak hingga mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada tahun 2024, klaim harian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta per hari, naik signifikan dibandingkan awal peluncuran BPJS kesehatan tahun 2014 sebesar 252 ribu per hari.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Sejak 2023, kesenjangan antara biaya dan penerimaan yang dialami BPJS Kesehatan semakin memperbesar tekanan finansial yang mengancam keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 

Rasio kerugian atau "loss ratio" BPJS Kesehatan mencapai titik kritis 100%, dengan kerugian diprediksi terus meningkat di tengah pertumbuhan klaim yang jauh melampaui penerimaan iuran. 

“Sejak 2023, ada gap cross, artinya antara biaya dengan premi sudah lebih tinggi biayanya. Lost ratio yang terjadi di BPJS Kesehatan antara pendapatan premi dengan klaim yang dibayarkan bisa mencapai 100%,” jelas Direktur Utama BPJS, Ali Ghufron di kompleks Senayan, Jakarta, dikutip Kamis, 14 November 2024.

Berdasarkan data BPJS Kesehatan, klaim yang diajukan terus melonjak hingga mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada tahun 2024, klaim harian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta per hari, naik signifikan dibandingkan awal peluncuran BPJS kesehatan tahun 2014 sebesar 252 ribu per hari. 

"Yang bikin defisit tentu utilisasi. Utilisasi itu orang pakai, jadi datang ke faskes, ke rumah sakit. Dulu hanya 252 ribu, sekarang 1,7 juta per hari," tambah Ghufron.

Hingga bulan Oktober 2024, penerimaan iuran hanya mencapai Rp133,45 triliun. Sementara klaim yang dibayarkan melonjak hingga Rp146,28 triliun, menghasilkan rasio beban sebesar 109,62%. 

Ali Ghufron memperingatkan bahwa jika tidak ada penyesuaian iuran, BPJS Kesehatan dapat mengalami kegagalan bayar pada pertengahan 2026. "Pada 2026, jika tidak ada kebijakan penyesuaian, BPJS Kesehatan bisa mengalami kesulitan dalam membayar klaim," tambah Ghufron.

Tantangan Defisit Anggaran

Dengan tingginya klaim, defisit BPJS Kesehatan pada 2024 diperkirakan mencapai Rp20 triliun. Penerimaan dari iuran di tahun 2023 mencapai Rp149,61 triliun, namun klaimnya tercatat mencapai Rp158,85 triliun. 

Sementara itu, BPJS Kesehatan tidak menaikkan iuran selama dua periode, meskipun secara ideal tarif harus disesuaikan setiap dua tahun untuk mengikuti laju inflasi medis yang mencapai 13,6 persen pada 2023. 

Menurut Anggota Komisi IX DPR, Edy Wuryanto, kenaikan iuran diperlukan untuk menjaga agar BPJS tetap sehat secara finansial dan untuk mengimbangi biaya layanan kesehatan yang terus meningkat.

Hal itu termasuk karena adanya kenaikan tarif INA CBGs (Indonesian Case Based Groups) yang merupakan dasar klaim rumah sakit dan kenaikan biaya kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama. Kenaikan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan dan mendukung keberlanjutan program.

“Jadi masyarakat kalau sedikit sakit, ke faskes. Kalau dulu takut karena tidak mampu membayar. Sehingga tidak heran jika beban BPJS Kesehatan juga besar,”  jelas Edy. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020, pemerintah memiliki wewenang untuk menaikkan iuran BPJS setiap dua tahun sekali. 

Namun, usulan BPJS Kesehatan untuk menaikkan iuran pada 2025 hanya berlaku bagi peserta kelas I dan II, sementara peserta kelas III, yang mayoritas merupakan Penerima Bantuan Iuran (PBI), tetap akan membayar tarif lama. 

BPJS juga mempertimbangkan kebijakan cost sharing atau berbagi biaya serta dukungan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menjaga keberlanjutan layanan.

Selain kenaikan iuran, pemerintah dan BPJS Kesehatan juga meninjau kemungkinan untuk meningkatkan subsidi APBN dalam upaya membantu beban anggaran BPJS. Dukungan APBN sempat terasa ketika pandemi COVID-19, di mana sebagian besar klaim terkait pasien COVID-19 dibiayai langsung oleh APBN. 

Namun, pasca-pandemi, jumlah klaim kembali melonjak karena seluruh biaya pelayanan kesehatan kembali ditanggung BPJS Kesehatan. Jika kenaikan iuran dapat dilakukan pada 2025, diharapkan akan menjadi langkah untuk menstabilkan keuangan BPJS Kesehatan hingga dapat menutupi defisit yang ada dan menunda risiko gagal bayar. 

Kenaikan tarif hanya akan diberlakukan untuk kelas I dan II, sedangkan kelas III yang sebagian besar mencakup peserta tidak mampu atau penerima subsidi akan tetap di bawah perlindungan iuran yang sama. 

Selain itu, dengan opsi tambahan seperti cost sharing dan bantuan dari APBN, pemerintah berharap agar BPJS Kesehatan dapat mempertahankan keberlanjutan layanan tanpa membebani masyarakat berpenghasilan rendah. 

Di sisi lain, kenaikan ini tetap akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah menyadari perlunya sosialisasi yang intensif guna memberi pemahaman mengenai pentingnya penyesuaian iuran dalam mendukung keberlanjutan program JKN.