Nampak sejumlah karyawan pabrik usai jam kerja di kawasan PT Panarub Kota Tangerang. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Dilema Cuti Melahirkan, Antara Keadilan dan Diskriminasi Perempuan

  • Ayu khawatir aturan ini justru akan menjadi alasan diskriminasi pada perempuan. Perusahaan pada akhirnya bisa berpikir lebih baik pemilik usaha untuk tidak mempekerjakan perempuan atau membuat kontrak yang melarang perempuan untuk hamil selama periode kontrak.

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang baru disahkan memunculkan perdebatan. Dalam ketentuan baru tersebut diatur ibu hamil memiliki hak untuk cuti melahirkan selama tiga bulan yang harus diberikan oleh pemberi kerja. 

Namun, dalam situasi khusus seperti jika ibu atau anak mengalami masalah kesehatan setelah melahirkan, ibu berhak mendapatkan tambahan cuti 3 bulan sehingga total cuti yang diberikan adalah selama 6 bulan.

Direktur Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), Rahayu Purwaningsih, mengatakan kebijakan baru itu dapat menjadi sebuah bentuk komitmen pada pekerja perempuan. 

“Tetapi, saya rasa kita sering kali bertanya-tanya, seberapa besar keberpihakan pemilik usaha atau pengusaha itu kepada perempuan. Sejauh ini, banyak sekali hak tenaga kerja yang belum diberikan,” tuturnya saat dihubungi TrenAsia baru-baru ini.

Dia memberikan contoh perusahaan di Solo yang masih belum memberikan hak tenaga kerja sesuai dengan ketentuan perundangan. “Misalkan terkait dengan ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), itupun ada yang belum bisa memenuhi sesuai dengan minimal ada di 100% UMK," ujar Ayu, sapaan akrabnya. 

Ayu khawatir aturan ini justru akan menjadi alasan diskriminasi pada perempuan. Perusahaan pada akhirnya bisa berpikir lebih baik pemilik usaha untuk tidak mempekerjakan perempuan atau membuat kontrak yang melarang perempuan untuk hamil selama periode kontrak. “Daripada mereka terjerat UU,” tuturnya.

Ilustrasi ibu hamil. (Freepik/partystock)

Pihaknya khawatir di masa mendatang banyak perusahaan yang enggan mempekerjakan perempuan karena perusahaan cenderung menimbang untung-rugi. “Korporasi mana sih yang mau merugi? Sudah enggak berangkat kerja selama 6 bulan kemudian harus tetap memberikan hak dalam bentuk gaji kepada tenaga kerja perempuan yang cuti," tuturnya. 

Dia menyebut sampai 4 bulan pertama cuti hamil, gaji mereka masih penuh. “Masuk bulan kelima itu 75% termasuk bulan kelima dan keenam. Nah padahal mereka tidak berkontribusi terhadap pendapatan perusahan. Khawatirnya perusahaan bakal berpikir ulang,” kata Ayu.

Sedikit Kesempatan

Dia mengatakan, bagi perusahaan yang sedang-sedang saja, kebijakan cuti enam bulan dan memberikan gaji akan menjadi sebuah kerugian bagi perusahaan. Dengan jumlah buruh pabrik yang mayoritas perempuan, kebijakan ini sebenarnya akan membuat pabrik-pabrik enggan mempekerjakan perempuan.

“Hal ini berarti perempuan akan memiliki sedikit kesempatan untuk berdaya secara ekonomi dan mandiri secara ekonomi. Artinya, ini adalah kesempatan untuk mendomistifikasi perempuan.”

Dalam analisis kekerasan terhadap perempuan yang tidak berdaya secara ekonomi, perempuan sering kali tidak memiliki akses ke ruang publik, termasuk ruang bekerja di pabrik. Tapi, perempuan ada kesempatan untuk dia bersosialisasi, berkesempatan untuk memiliki ruang yang berbeda dari sekadar ada di rumah.

Ini termasuk dalam ruang-ruang di mana perempuan dapat berdaya secara ekonomi, karena perempuan yang mandiri secara ekonomi cenderung lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami kekerasan.

Ketika perempuan memiliki kemandirian ekonomi, mereka juga lebih mampu bernegosiasi dengan laki-laki saat terjadi kekerasan. Artinya, ketika perempuan tidak bekerja, peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan akan semakin tinggi.

Sebelumnya, DPR mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan. Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka, UU ini menetapkan ibu pekerja yang baru melahirkan berhak mendapatkan cuti melahirkan minimal tiga bulan. Namun, dalam keadaan tertentu, ibu pekerja dapat mengambil cuti hingga enam bulan.

“Ibu yang bekerja yang menggunakan hak cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan,” kata Diah, pada Selasa, 4 Juni 2024, dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024.

Setiap ibu yang mengambil cuti melahirkan tidak boleh diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Selama masa cuti, ibu akan menerima hak penuh sebesar 100% selama tiga bulan pertama dan 75% untuk tiga bulan berikutnya.