Dilema Pajak Karbon di Indonesia, Bagaimana Nasib Industri Otomotif Indonesia?
Rencana pengenaan pajak karbon diklaim menjadi solusi Indonesia mengurangi emisi karbondioksida (CO2). Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut rencana tersebut tidak akan mematikan geliat industri otomotif yang sedang diguyur insentif oleh pemerintah.
Industri
JAKARTA – Rencana pengenaan pajak karbon diklaim menjadi solusi Indonesia mengurangi emisi karbondioksida (CO2). Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut rencana tersebut tidak akan mematikan geliat industri otomotif yang sedang diguyur insentif oleh pemerintah.
Alih-alih mematikan, pajak karbon dinilai Mamit bakal memacu pelaku industri untuk berinovasi hadirkan produk ramah lingkungan.
“Hal ini menjadi pemecut bagi industri otomotif untuk lebih kreatif dan serius dalam mengembangkan mesin yang lebih ramah lingkungan ataupun pengembangan kendaraan listrik,” kata Mamit saat dihubungi Trenasia.com, Senin, 24 Mei 2021.
Untuk diketahui, pajak karbon merupakan bentuk pigouvian tax untuk mengkompensasi eksternalitas negatif dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Sebanyak 16 negara tercatat telah menerapkan regulasi ini.
Besaran pajak karbon tertinggi diterapkan Swedia dengan 108,8 Euro atau Rp1,8 juta per ton emisi karbon. Di posisi berikutnya, ada Swiss dan Liechtenstein yang mematok pajak karbon paling mahal, yakni 90,53 Euro per ton emisi karbon.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Sementara itu, Jepang, Singapura, Perancis, dan Chile diketahui mematok tarif pajak karbon di kisaran US$ 3 hingga US$49 per ton emisi karbon.
Terkait besaran tarif pajak yang optimal, Mamit menyebut pemerintah jangan lebih dulu memasang tarif yang tinggi. Hal ini, kata Mamit, dipicu oleh kondisi perekonomian Indonesia yang belum pulih seutuhnya pada 2022.
“Saya kira kita untuk awal tidak usah mahal-mahal terlebih dahulu, disesuaikan dengan pendapatan dan taraf perekonomian masyarakat kira,” ujar Mamit.
Di sisi lain, penggunaan energi fosil, dalam hal ini Bahan Bakar Minyak (BBM) bisa meningkatkan penggunaan Research Octane Number (RON). Seperti diketahui, semakin tinggi RON atau nilai oktan, maka semakin berdampak positif terhadap kondisi kendaraan.
“Pajak ini juga akan memicu konsumen untuk menggunakan BBM dengan RON yang tinggi atau standar EURO IV minimal. Industri otomotif saya kira juga tidak akan terganggu karena rencana ini,” ucap Mamit.
Hal senada diungkapkan Pengamat Otomotif Martinus Pasaribu. Yannes menyebut, kebijakan pajak karbon ini tidak bakal “mengguncang” industri otomotif dalam negeri. Lebih jauh lagi, dirinya menilai pajak karbon bisa memantik mobil listrik agar semakin populer di Indonesia.
“Tren kendaraan listrik di Indonesia sangat bergantung kepada konsistensi kebijakan negara,” kata Yannes kepada Trenasia.com, Senin 24 Mei 2021.
Sektor otomotif, kata Yannes, sangat berpengaruh terhadap kondisi emisi karbon. Laporan Climate Transparency Report 2020 menyebut sektor transportasi menyumbang 27% dari total emisi karbon dunia.
“Semua rangkaian proses kebijakan yang kini sedang bergulir perlu tetap dikawal agar dapat menjadi portofolio kebijakan yang semakin holistik dan sistem pasar dalam negeri yang semakin kondusif untuk ekosistem kendaraan listrik,” ungkap Yannes.
Selain itu, Indonesia juga sedang dikejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025. Di sisi penerimaan negara, pajak ditargetkan berkontribusi hingga Rp1.499,3 triliun-Rp1.528,7 triliun terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada 2022.
Dua Opsi Pengenaan Pajak
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah membuka dua opsi penerimaan pajak karbon.
Merujuk laporan Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022, pengenaan pajak karbon bisa diimplementasikan melalui komponen pajak yang sudah ada.
Pajak karbon bisa dipungut melalui komponen Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM), hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selain itu, pajak karbon bisa ditempuh pemerintah ialah melalui pajak kendaraan bermotor (PKB) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Opsi kedua yang bisa ditempuh pemerintah dengan menerbitkan pasal khusus dalam Undang-Undang (UU) Ketentuian Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang khusus mengatur mekanisme pengaturan pajak karbon di Indonesia.
“Pajak karbon dikenakan pada bahan bakar fosil dengan melihat potensi emisi yang dapat ditimbulkan oleh penggunaannya,” tulis laporan KEM PPKF 2022 yang dilansir Senin, 24 Mei 2021. (RCS)