Ilustrasi bisnis PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk (NSSS).
Nasional

Dilema Sawit, Sumbang Ekonomi Rp750 Triliun Tapi Konflik Capai 1.061 Kasus

  • Sektor kelapa sawit juga menyumbang devisa negara sebesar Rp450 triliun per tahun.
Nasional
Muhammad Imam Hatami

Muhammad Imam Hatami

Author

JAKARTA - Industri kelapa sawit di Indonesia memiliki peran yang sangat penting pada perekonomian nasional, tetapi sektor ini juga mengandung banyak masalah. 

Kementerian Perindustrian (Kemenperin)  memaparkan sektor ini menjadi tumpuan pencaharian bagi 4,2 juta orang dan menghidupi 20,8 juta jiwa.

Sektor ini juga menyumbang devisa negara sebesar Rp450 triliun per tahun. Sementara itu, nilai ekonomi sektor kelapa sawit dari hulu hingga hilir sendiri mencapai lebih dari Rp750 triliun per tahun, atau setara dengan 3,5% Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional pada tahun 2023 yang mencapai Rp20.892 triliun.

“Nilai ekonomi sektor kelapa sawit hulu – hilir nasional sendiri mencapai lebih dari Rp750 Triliun per tahun, setara dengan 3,5% Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional” terang Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika, di Jakarta.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan hilirisasi industri kelapa sawit sebagai prioritas nasional untuk mencapai postur industri yang berkelanjutan.

Kementerian Perindustrian telah memfasilitasi investasi baru atau perluasan pabrik pengolahan kelapa sawit melalui insentif fiskal dan non-fiskal. 

Menurut putu terdapat beberapa milestone dalam proses hilirisasi industri kelapa sawit. Milestone tersebut mencakup restrukturisasi tarif bea keluar secara progresif pada tahun 2011, serta kombinasi kebijakan fiskal pungutan dana perkebunan (Levy) dengan kebijakan Mandatory Biodiesel yang mencapai komposisi 35 persen (B35).

“Pada milestone kedua tersebut, pertumbuhan industri hilir kelapa sawit menjadi lebih terakselerasi dan terarah dalam hal mengelola supply demand untuk menjaga harga jual tandan buah segar pada tingkat yang remuneratif bagi petani rakyat,”

Pemerintah juga telah menyusun Peta Jalan (Roadmap) Sawit Indonesia Emas 2045 untuk mencapai industri kelapa sawit yang mandiri, berdaulat, maju, berkeadilan, dan inklusif. 

Salah satu keberhasilan lainnya adalah normalisasi tata kelola produksi dan distribusi ekspor minyak goreng (RBD Palm Olein) pada masa outbreak akhir tahun 2021 hingga tahun 2022.

Simalakama Kelapa Sawit

Namun, di balik kontribusi ekonomi yang besar, industri kelapa sawit juga menyimpan sejumlah dampak negatif. 

Deforestasi adalah salah satu masalah utama yang sering dikaitkan dengan perluasan lahan kelapa sawit. 

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim global.  Luas perkebunan kelapa sawit sendiri mencapai 22,3 juta hektar, di mana 30% di antaranya dikelola oleh petani. 

Namun, di balik pencapaian ekonomi ini, terdapat biaya sosial dan lingkungan yang besar.  Dilansir data organisasi lingkungan Mongabay, Konflik lahan tercatat mencapai 1.061 kasus, dengan hanya 1,2% atau 13 kasus yang berhasil diselesaikan. 

Kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat lokal masih terus berlanjut, dan 10,8% dari konflik ini melibatkan masyarakat adat yang kehilangan sumber penghidupan mereka akibat ekspansi perkebunan besar. 

Masalah ini terkait dengan pelanggaran prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC ) juga sering terjadi. 

Meski memberikan manfaat ekonomi, industri sawit di Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam mengatasi dampak negatif sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya.

“Meski kontribusinya besar terhadap perekonomian nasional, perkebunan sawit banyak menimbulkan permasalahan di lapangan,” ungkap Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, dilansir Mongabay.

Ketergantungan ekonomi pada monokultur kelapa sawit juga menimbulkan risiko ekonomi yang besar. 

Jika terjadi gangguan pada industri ini, seperti fluktuasi harga minyak sawit dunia, banyak masyarakat yang akan kehilangan mata pencaharian.

Untuk menghadapi tantangan-tantangan ini, pengembangan sektor industri kelapa sawit yang berkelanjutan dan mampu tertelusur (traceable) menjadi prasyarat penting untuk diterimanya produk hilir kelapa sawit di pasar global. 

Pemerintah dan pelaku industri harus berupaya memperbaiki praktik-praktik pertanian dan tata kelola yang lebih ramah lingkungan dan sosial.