Karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau biasa dikenal Sritex.
Korporasi

Dilema Sritex (SRIL), Antara PHK Karyawan dan Potensi Delisting Saham

  • Sritex (SRIL) bakal melakukan PHK secara berkala di tengah bayang-bayang delisiting saham. Emiten tekstil ini mencatat pendapatan sebesar US$325,08 juta sepanjang 2023, atau susut 38,02% secara tahunan.

Korporasi

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA – Emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau biasa dikenal Sritex mengumumkan bakal melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan secara berkala hingga 2025 mendatang. 

Di sisi lain, emiten tekstil yang berkantor pusat di Sukaharjo, Jawa Tengah itu tengah dibayangi potensi delisting akibat suspensi sahamnya yang tidak kunjung dibuka, seiring pendapatan SRIL sepanjang 2023 yang menyusut. 

Manajemen emiten tekstil yang menggunakan kode saham SRIL mengklaim langkah pengurangan karyawan tersebut bertujuan untuk mendongkrak penjualan dan efisiensi biaya produksi. 

“Untuk menghadapi kondisi tersebut, Grup memfokuskan pada upaya meningkatkan penjualan dan efisiensi biaya produksi dengan mengambil langkah-langkah yaitu pengurangan karyawan secara berkala hingga 2025,” tulis manajemen melalui keterangannya pada Senin, 27 Mei 2024.

Selain itu, Sritex akan mengembangkan produk-produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi (specialised product). Perusahaan juga akan terus meningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, serta mengoptimalkan efisiensi biaya melalui pemantauan anggaran dan perbaikan sistem.

Asal tahu saja, Sritex mencatatkan jumlah karyawan tetap sebanyak 14.138 orang per 31 Desember 2023. Angka tersebut juga lebih sedikit dibandingkan dengan posisi pada tahun 2022 yang mencapai 16.370 karyawan.

Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin, 27 Mei 2024, SRIL mencatatkan beban imbalan kerja karyawan sebesar US$2,81 juta, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan beban pada tahun 2022 yang mencapai US$2,83 juta.

Kemudian untuk pembayaran gaji dan imbalan kerja karyawan adalah sebesar US$41,12 juta sepanjang 2023. Posisi itu lebih rendah dibandingkan dengan 2022 yang tercatat sebesar US$51,74 juta. 

Pendapatan Sepanjang 2023

Dari sisi kinerja, SRIL mencatat pendapatan sebesar US$325,08 juta sepanjang 2023. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 38,02% dibandingkan dengan pendapatan SRIL pada tahun 2022 yang mencapai US$524,56 juta.

Secara rinci, pendapatan SRIL sepanjang tahun lalu didominasi oleh penjualan di pasar lokal, yakni mencapai US$166,41 juta. Penjualan domestik SRIL terutama dipimpin oleh penjualan benang sebesar US$72,34 juta, diikuti oleh penjualan produk kain jadi senilai US$62,20 juta, dan penjualan produk pakaian jadi senilai US$17,44 juta.

SRIL juga berhasil mencatat pendapatan dari ekspor sebesar US$158,66 juta. Penjualan ekspor SRIL didominasi oleh penjualan benang senilai US$136,13 juta, diikuti oleh penjualan produk pakaian jadi senilai US$16,63 juta dan produk kain jadi senilai US$4,67 juta.

Potensi Delisting

Hingga kini saham SRIL masih terkunci oleh BEI sejak 18 Mei 2021, atau tepatnya, sudah berlangsung selama 3 tahun. Situasi ini juga membawa potensi delisting bagi perusahaan tersebut. Pengumuman ini telah disampaikan oleh BEI melalui keterbukaan informasi pada bulan November 2023 yang lalu.

Aturan delisting ditetapkan jika saham suatu perusahaan telah mengalami suspensi selama 24 bulan dan saham tersebut menghadapi kondisi yang secara signifikan berdampak negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan, baik dari segi keuangan maupun hukum.

"Pada tanggal 18 November 2023, masa suspensi saham PT Sri Rejeki Isman Tbk (Perseroan) telah mencapai 30 bulan," demikian bunyi pengumuman yang disampaikan oleh BEI pada November 2023 lalu.

Awalnya, SRIL di-suspend oleh BEI karena penundaan pembayaran pokok dan bunga dari medium term note (MTN) Sritex tahap III 2018 ke-6 (USD-SRIL01X3MF). Suspensi tersebut kemudian diperpanjang hingga tanggal 18 Mei 2023 atau setara dengan 24 bulan.

Adapun kepemilikan masyarakat atas saham ini cukup besar, yakni mencapai 8,15 miliar saham atau setara 38,89%. Sementara itu, PT Huddleston Indonesia memegang saham mayoritas dan menjadi pemegang saham pengendali (PSP) dengan kepemilikan 12,07 miliar saham atau setara 59,03%.