Diluncurkan 1 Januari 2025, Siapkah Indonesia Terapkan Bahan Bakar Diesel B40?
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan kesiapan infrastruktur logistik untuk mendukung distribusi B40 selesai pada akhir Desember 2024.
Energi
JAKARTA - Sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki peluang besar mengembangkan bahan bakar berbasis minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Lewat peluncuran program Biodiesel B40 yang dijadwalkan mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2025, pemerintah berharap dapat menggabungkan 40 persen minyak sawit dalam bahan bakar solar. Program ini diharapkan mampu memperkuat ketahanan energi, menjaga lingkungan, serta mendukung sektor ekonomi.
“Bahan bakar alternatif akan menjadi prioritas serta sedang disiapkan mandatori untuk B40. Aturan direncanakan keluar pada 1 Januari 2025,” terang Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, di Jakarta, dilansir 1 November 2024.
Namun, di balik ambisi besar ini, muncul pertanyaan, sejauh mana kesiapan Indonesia dalam menerapkan B40? Apakah keuntungan dari bahan bakar ini dapat mengimbangi potensi tantangannya?
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan kesiapan infrastruktur logistik untuk mendukung distribusi B40 selesai pada akhir Desember 2024. Persiapan ini mencakup pengembangan fasilitas penyimpanan dan distribusi yang mampu menangani bahan bakar B40, termasuk pelabuhan dan sistem pengiriman.
“Memang perlu banyak hal yang harus dipersiapkan dan industri harus menyediakan investasi tambahan” ujar Eniya.
- Setelah Minta Rp20 T, Pigai Kini Nodong Tambahan Ribuan Pegawai
- Melihat Kontribusi Penjualan Rumah Perumnas Sepanjang 2023
- Hasilkan Devisa Jumbo, Pariwisata RI Hadapi Sejumlah Dilema Ini
Selain itu, persediaan minyak sawit mentah (CPO) harus diupayakan terus memadai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui pembatasan ekspor, sehingga memastikan ketersediaan bahan baku biodiesel.
Uji coba penggunaan B40 sudah dilakukan, termasuk uji jalan (road test) di Kalimantan Selatan, selain itu, pemerintah telah menyusun kajian teknis dan regulasi yang akan menjadi dasar implementasi B40. Pemerintah juga mulai mengevaluasi penerapan B50 dan B60 sebagai langkah berikutnya dalam program biodiesel berkelanjutan.
“Sudah diarahkan bukan hanya B50 saja tapi juga bisa ke B60 sehingga perlu kajian,” tambah Eniya.
Kelebihan B40
Lewat meningkatkan kandungan bahan bakar nabati hingga 40 persen, B40 secara signifikan dapat mengurangi konsumsi solar berbasis fosil. Selain itu, sebagai produsen terbesar minyak sawit, Indonesia memiliki potensi besar untuk memaksimalkan nilai tambah dari kelapa sawit. Program B40 dapat meningkatkan permintaan domestik CPO, memberikan stabilitas harga, serta mendukung keberlanjutan sektor kelapa sawit nasional.
Melalui penggunaan energi terbarukan, pemerintah dapat mengurangi beban APBN dari subsidi bahan bakar fosil. Dengan meningkatkan produksi biodiesel dalam negeri, impor minyak mentah juga berkurang, sehingga anggaran subsidi energi dapat dialihkan ke sektor-sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan.
Program B40 juga menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan beralih ke energi bersih.
- Setelah Minta Rp20 T, Pigai Kini Nodong Tambahan Ribuan Pegawai
- Melihat Kontribusi Penjualan Rumah Perumnas Sepanjang 2023
- Hasilkan Devisa Jumbo, Pariwisata RI Hadapi Sejumlah Dilema Ini
Kekurangan dan Tantangan Implementasi B40
Meskipun B40 dikembangkan untuk kompatibel dengan mesin diesel, penggunaannya masih menimbulkan kekhawatiran pada usia mesin dan performa kendaraan. Biodiesel berbasis sawit cenderung lebih kental, yang disinyalir dapat menyebabkan masalah pada sistem injeksi bahan bakar dan filter mesin, terutama pada mesin-mesin diesel yang belum dirancang untuk bahan bakar campuran tinggi.
Peningkatan konsumsi CPO dalam negeri untuk B40 dapat menyebabkan fluktuasi harga, yang berdampak pada ketersediaan CPO untuk industri makanan dan ekspor. Kondisi ini berpotensi memengaruhi daya saing ekspor CPO Indonesia, serta stabilitas pasokan untuk sektor-sektor lain yang juga membutuhkan.
Dengan adanya permintaan CPO yang meningkat, dikhawatirkan ekspansi lahan sawit akan terus bertambah. Hal ini bisa menjadi ancaman bagi hutan dan keanekaragaman hayati Indonesia. Perlu ada regulasi yang memastikan program B40 tidak menimbulkan kerusakan lingkungan lebih lanjut, seperti deforestasi.
Selain itu, Infrastruktur distribusi bahan bakar yang saat ini ada belum sepenuhnya siap untuk menangani campuran biodiesel yang tinggi. Disisi lain, teknologi pengolahan biodiesel dari CPO masih memerlukan pengembangan untuk memastikan kualitas dan stabilitas bahan bakar yang dihasilkan.
Di tengah perkembangan energi listrik dan hidrogen sebagai alternatif energi bersih, penggunaan B40 mungkin menjadi kurang efisien di masa depan jika dibandingkan dengan inovasi teknologi lain. Pemerintah perlu mempertimbangkan diversifikasi energi terbarukan yang lebih luas agar tidak hanya bergantung pada biodiesel.
Penerapan B40 merupakan langkah strategis menuju ketahanan energi dan perekonomian berbasis sumber daya dalam negeri. Meski demikian, Indonesia harus tetap mempertimbangkan risiko dan dampak jangka panjang dari program ini. Keseimbangan antara peningkatan nilai tambah CPO dan upaya menjaga kelestarian lingkungan perlu dijaga, agar Indonesia dapat mengoptimalkan potensi biodiesel tanpa menimbulkan dampak negatif.