Disebut Riba dan Haram, Pasal Bunga di KUHPerdata Digugat ke MK
- Warga Kota Bekasi, Edwin Dwiyana, bersama dengan Utari Sulistyowati, warga Kabupaten Bogor, telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal-pasal bunga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Ekonomi Syariah
JAKARTA - Warga Kota Bekasi, Edwin Dwiyana, bersama dengan Utari Sulistyowati, warga Kabupaten Bogor, telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal-pasal bunga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Gugatan ini didasarkan pada klaim mereka bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi dan dianggap sebagai praktik riba yang diharamkan oleh agama.
Dalam permohonan yang diajukan, pemohon mengklaim bahwa Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 1 ayat (1) Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Edwin menjelaskan, pasal-pasal bunga dalam KUHPerdata tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena tidak sejalan dengan nilai-nilai Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
- Tekan Biaya Operasional, Softbank Bakal PHK 30 Persen Karyawannya
- Angka Ekspor Susut, Buruh China Protes dan Mogok Kerja
- Kekayaan Nadiem Makarim Melonjak hingga 3 Kali Lipat di Akhir 2022, Sentuh Angka Rp4 Triliun
Ia juga menyoroti asal usul KUHPerdata yang berasal dari warisan penjajah Belanda. Menurutnya, sebagai negara yang telah merdeka, Indonesia perlu melakukan pembaruan hukum sesuai dengan konteks masyarakat yang hidup saat ini.
Di sisi lain, Utari menekankan aspek keagamaan. Sebagai seorang Muslim, dirinya berpendapat bahwa mengambil bunga dalam transaksi utang-piutang adalah perbuatan haram berdasarkan ajaran Islam. Ia merasa pasal-pasal terkait bunga dalam KUHPerdata merugikan hak konstitusionalnya untuk menjalankan ibadah sesuai ajaran Islam.
"Sebagai warga negara yang beragama Islam, tentu harus menjalankan ibadah sesuai dengan Al Quran dan sunnah, yang mana ketentuan dalam lslam bahwa mengambil bunga, dalam utang piutang adalah hukumnya haram karena mengandung riba," tulisnya dalam permohonan gugatan.
Hal ini juga disebutnya telah ditegaskan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUl) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga/lnterest yang hukumnya adalah haram.
"Oleh karenanya ketentuan sebagaimana dimaktub dalam Objek Permohonan a quo adalah jelas merugikan hak-hak konstitusional Pemohon I dalam menjalankan agama sesuai dengan ajaran lslam, yang dianut oleh Pemohon," pungkasnya.