<p>Karyawati menunjukkan mata uang Dolar Amerika dan Rupiah di salah satu teller bank, di Jakarta, Rabu, 3 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Pasar Modal

Disrupsi Pasokan dan Ancaman Resesi Meningkat, Rupiah Sempat Tembus Rp15.300 per Dolar AS

  • Dikutip dari data Bloomberg, hari ini nilai kurs rupiah ditutup melemah 142,5 poin dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya di angka Rp15.124 perdolar AS.

Pasar Modal

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Disrupsi pasokan dan ancaman resesi yang terus meningkat mendorong nilai kurs rupiah untuk menembus hingga Rp15.266,5 perdolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Rabu, 28 September 2022.

Dikutip dari data Bloomberg, hari ini nilai kurs rupiah ditutup melemah 142,5 poin dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya di angka Rp15.124 perdolar AS.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, untuk perdagangan Kamis, 29 September 2022, nilai kurs rupiah kemungkinan akan melemah lagi di rentang Rp15.250 - Rp15.310 per dolar AS.

Ia juga menyampaikan bahwa pelemahan yang terjadi nilai kurs rupiah didorong oleh peringatan dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang mengungkapkan bahwa banyak negara Eropa, AS, dan China akan menghadapi resesi pada tahun 2023.

Volume perdagangan dunia yang masih rendah, tingginya tekanan inflasi, ketidakpastian pasar keuangan global, serta disrupsi pasokan yang meningkat pun mengindikasikan ekonomi tahun 2023 yang akan semakin suram.

Tekanan inflasi global yang semakin tinggi seiring dengan ketegangan geopolitik dan kebijakan proteksionisme yang masih berlangsung pun mendorong bank sentral di berbagai negara untuk melanjutkan kenaikan suku bunga yang agresif.

Para petinggi The Fed pun baru saja mengungkapkan bahwa bank sentral AS tampaknya perlu mengerek suku bunga hingga ke posisi 4,5% - 4,75%.

Sementara itu, disrupsi pasokan pun semakin meningkat karena adanya kebocoran besar di Laut Baltik dari pipa gas Rusia. Saat ini, negara-negara Eropa pun sedang menyelidiki hal tersebut. 

"Hal tersebut mendorong semakin kuatnya mata uang dolar AS dan semakin tingginya ketidakpastian di pasar keuangan global sehingga mengganggu aliran investasi portofolio dan tekanan nilai tukar di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia," ujar Ibrahim dikutip dari riset harian, Rabu, 28 September 2022.