Ditangkap Saat Hendak Kabur ke Malaysia, Inilah Sepak Terjang Obligor BLBI Marimutu Sinivasan
- JAKARTA- Petugas Kantor Imigrasi Kelas II Entikong menangkap pemilik Texmaco Group, Marimutu Sinivasan saat hendak melintasi perbatasan Indonesia-Malayasi
Nasional
JAKARTA- Petugas Kantor Imigrasi Kelas II Entikong menangkap pemilik Texmaco Group, Marimutu Sinivasan saat hendak melintasi perbatasan Indonesia-Malayasia di Entikong, Kalimantan Barat pada Minggu 8 September 2024 petang. Obligor kelas kakap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu diamankan karena masuk ke dalam daftar cegah.
Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim mengkonfirmasi pengangkapan tersebut pada Senin 9 September 2024. “Lebih mencegah beliau keluar via PLBN Entikong Kalbar. Paspor kita tahan," katanya.
Silmy menambahkan pemeriksaan awal terhadap Marimutu sudah selesai dilakukan. Imigrasi, terang dia, menyerahkan urusan kepada Satgas BLBI.
- Tingkatkan Bauran Energi, Indonesia Butuh Investasi Rp216 Triliun
- Saham BRPT Siap Melaju Kencang Usai Didorong Beberapa Katalis Ini
- Cadangan Devisa Naik Jadi Rp2.321 Triliun, Apa Pentingnya Bagi Indonesia?
"Mungkin dipikir kalau lewat darat apalagi di perbatasan sistem belum terkoneksi. Ternyata petugas Imigrasi di sana profesional dan sistem beroperasi dengan baik sehingga rencana tersebut bisa digagalkan," kata Silmy.
Terpusah Ketua Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) Rionald Silaban mengapresiasi jajaran Imigrasi yang menangkap Marimutu Sinivasan.
"Saya terima kasih sekali bahwa Imigrasi membantu kita dalam menjalankan cekal yang kita terapkan kepada Marimutu," kata Rionald yang juga sebagai Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan di Gedung DPR RI.
Rionald menyebut pihaknya melakukan pencekalan kepada Marimutu Sinivasan hingga Desember 2024. Artinya sampai periode yang ditentukan, bos Texmaco Group itu dicegah keluar wilayah Indonesia.
Polemik Utang
Marimutu Sinivasan berjanji melunasi utangnya ke negara yang mencapai US$558.309.845 atau Rp8 triliun. "Saya beritikad baik untuk menyelesaikannya dengan meminta waktu 2 tahun grace period dan 5 tahun penyelesaiannya. Totalnya 7 tahun," katanya pada Rabu, 8 Desember 2021 lalu.
Dia mengatakan bahwa utangnya tersebut tidak terkait dengan dana Bantuan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang digelontorkan pemerintah ketika krisis moneter menerapa Indonesia pada tahun 1997-1998.
Marimutu, yang pernah membawa Grup Texmaco sebagai pemimpin industri tekstil nasional pada masa pemerintahan Soeharto ini mengakui bahwa utang Rp8,1 triliun didasarkan pada Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Deputi Bidang Pengawasan Khusus No: SR-02.00.01-276/D.VII.2/2000 tanggal 8 Mei 2000.
Laporan itu sebagai tindak lanjut dari Nota Kesepakatan antara PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sekarang berubah menjadi PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), mengenai penyelesaian kredit Texmaco yang ditandatangani pada 25 Februari 2000.
Mou tersebut ditandatangani oleh Saifuddien Hasan selaku Dirut Bank BNI dan Cacuk Sudarijanto selaku Kepala BPPN yang diketahui oleh Menteri Keuangan Bambang Sudibyo.
"Saya ingin menjelaskan bahwa Grup Texmaco tidak pernah mendapatkan dan tidak pernah memiliki BLBI. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan Direktorat Hukum Bank Indonesia, melalui Surat No. 9/67/DHk, tanggal 19 Februari 2007," kata Marimutu.
Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurutnya perusahaan itu memiliki utang kepada negara terkait BLBI. Ini karena Texmaco meminjam dana kepada beberapa bank sejak sebelum krisis moneter 1998. Peminjaman dana dilakukan ke bank BUMN seperti BRI, BNI, dan Bank Mandiri, serta bank swasta. Jumlahnya mencapai sekitar Rp8 triliun.
Dari beberapa sumber, disebutkan bahwa utang Texmaco kepada negara bermula ketika pada tahun 1997, perusahaan tekstil ini mengajukan bantuan likuiditas kepada BI melalui Bank BNI sebesar US$300 juta untuk menuntaskan kewajiban jangka pendek berupa pelunasan commercial paper yang sudah jatuh tempo.
Setelah itu, Texmaco kembali mengajukan paket analisa kredit (PAK) atas fasilitas pre-shipment yang besarnya US$516 juta. Jadi total kredit Texamco ke Bank BNI sejumlah US$816 juta atau setara Rp15,37 triliun (kurs kala itu).
Ketika krisis moneter makin terasa, Texmaco pun tidak mampu lagi membayar kewajibannya kepada bank negara tersebut.
Texmaco pun harus diambil alih oleh BPPN. Dari data PPA total kewajiban utang Grup Texmaco baik pokok dan bunga mencapai Rp29,04 triliun per 30 April 2002 yang membuat Texmaco masuk dalam daftar Top 21 Obligor BPPN.
Berdasarkan kajian BPPN, Texmaco akhirnya diputuskan untuk dijual pada tahun 2007. Sayangnya, beberapa penawaran yang masuk berada di bawah harga dasar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Akhirnya tidak ada yang memenangkan tender.
Sejak awal, pemerintah memang memiliki niat baik untuk menyelamatkan Texmaco menginat perusahaan berbasis Jakarta ini merupakan salah satu pemain sandang terpenting di tanah air.
Namun demikian, belum ada titik terang mengenai nasib perusahaan tekstil terbesar nasional itu sampai saat ini. Seluruh aset Texmaco sepenuhnya berada di bawah kendali Kemenkeu.