Presiden Direktur PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat divonis hukuman mati oleh JPU Kejaksaan Agung, Senin, 6 Desember 2021.
Nasional

Dituntut Hukuman Mati, Saham TRAM Emiten Heru Hidayat Berpotensi Dihapus dari Bursa

  • Saham dan warna PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) milik terpidana hukuman mati Heru Hidayat berpotensi dihapus dari Bursa Efek Indonesia setelah Heru Hidayat divonis hukuman mati.

Nasional

Daniel Deha

JAKARTA -- Saham dan waran PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) emiten Heru Hidayat berpotensi dihapus (delisting) dari Bursa Efek Indonesia (BEI) setelah keputusan hukuman mati dalam skandal korupsi PT Asabri (Persero).

Dilansir dari keterbukaan informasi, BEI mengatakan akan menghapus saham TRAM dalam periode 24 bulan yang berakhir pada 23 Januari 2022 jika perusahaan mengalami kondisi atau peristiwa yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status TRAM tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.

Saat ini, saham TRAM dihentikan sementara atau disuspensi oleh otoritas pasar modal hingga 23 Januari 2022. Suspensi ini dilakukan terhitung sejak 23 Januari 2020.

Akibat keputusan tersebut, saham TRAM hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan atau hingga Januari 2022.

"Perdagangan efek perseroan telah disuspensi selama 12 bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada 23 Januari 2022," bunyi pengumuman BEI di keterbukaan informasi, dikutip Rabu, 8 Desember 2021.

Adapun, saham TRAM dimiliki oleh tiga pemegang saham, yang meliputi PT Graha Resources dengan 6.465.824.14 lembar saham atau 13,03%; Tael One Partners Ltd sebanyak 11.823.814.432 lembar saham atau 23,82% dan publik sebanyak 31.353.989.355 lembar saham atau 63,16%. Total saham TRAM sebanyak 49.643.627.934 lembar saham.

Keputusan suspensi saham TRAM ditetapkan setelah bos emiten jasa transportasi laut itu terindikasi terlibat dalam skandal dua mega korupsi yang menghebohkan publik tanah air, yaitu kasus korupsi PT Asuransi Jiwasyara (Persero) dan PT Asabri (Persero).

Dalam dua kasus tersebut, Heru Hidayat terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara hingga Rp39,59 triliun yang terdiri dari Rp16,807 triliun korupsi Jiwasyaraya dan Rp22,788 triliun korupsi Asabri.

Awal pekan ini, bos TRAM telah dituntut vonis hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung karena terbukti melakukan kejahatan korupsi Asabri dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Heru Hidayat dijerat dua dakwaan, yaitu Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam putusannnya, Jaksa mengaku sangat marah terhadap sikap Heru Hidayat yang tidak memiliki empati saat melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan dana Asabri. Dia juga tidak beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela.

Lebih parahnya lagi, terdakwa tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan sebaliknya dengan sengaja berlindung pada suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa transaksi di pasar modal adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.

“Ini telah jelas mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan," bunyi keterangan JPU.

Jaksa pun telah menyita harta benda Heru Hidayat yang nilainya sekitar Rp2,43 triliun. Sementara kerugian yang dibebankan kepada Heru Hidayat mencapai Rp12,64 triliun.

Kerugian ini yang akan diganti oleh Heru Hidayat dengan ketentuan jka terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Selanjutnya, Heru Hidayat dijadwalkan membacakan nota pembelaan (pleidoi) pada 20 Desember 2021.