<p>Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Ditjen Pajak. / Dok. Ditjen Pajak</p>
Ekonomi, Fintech & UMKM

DJP Awasi Ketat Penerima Insentif Pajak

  • Kemenkeu melaporkan realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari-Februari 2020 sebanyak Rp152,9 triliun. Angka tersebut kontraksi hingga 4,9% year-on-year (yoy) bila dibandingkan dengan pencapaian pada periode sama tahun lalu senilai Rp160,9 triliun.

Ekonomi, Fintech & UMKM
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebut ada dua skema pengawasan terhadap kebijakan pemerintah yang memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk barang dan jasa sebagai bentuk penanggulangan dampak pandemi COVID-19.

Direktur Penyuluh, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menjelaskan dua skema pengawasan wajib pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 28 Tahun 2020.

“Pertama, DJP akan berkolaborasi dengan wajib pajak yang termaksud dalam PMK,” katanya dalam Radio Talkshow bertajuk Fasilitas Pajak Atas Obat, Alat Kesehatan, dan Jasa untuk Penanganan COVID-19 di Jakarta, Selasa, 14 April 2020.

Pihak yang mendapatkan insentif pajak adalah badan atau instansi pemerintah, rumah sakit, atau pihak lain yang ditunjuk oleh badan atau instansi pemerintah atau rumah sakit untuk menangani pandemi. Karena insentif pajak ini terbatas, DJP tetap fokus mengawasi pelaksaan pajak pada wajib pajak termaksud.

Kedua, setiap wajib pajak yang mendapatkan insentif diwajibkan untuk melaporkan faktur penyerahan barang atau jasa terkait penanganan COVID-19. Skema ini berlaku juga pada pihak ketiga yang berkaitan dengan wajib pajak yang mendapat insentif.

Para pelaku usaha yang termasuk pihak ketiga wajib melaporkan realisasi PPN yang ditanggung pemerintah selama April 2020 sampai Juni 2020 dan Juli 2020 sampai September 2020. Termasuk di dalamnya diberi keterangan atau cap PPN ditanggung pemerintah.

“Relaksasi pajak ini bertujuan untuk memastikan ketersediannya di dalam negeri, untuk penanganan, jadi kami tetap menjalankan tugas pengawasan,” tambah dia.

Sebagai informasi, pemerintah merelaksasi PPN dan PPh impor dan distribusi alat kesehatan seperti masker, alat perlindungan diri (APD), dan alat tes cepat COVID-19. Pasalnya, selama pandemi ini, distribusi alat kesehatan menjadi sangat penting dan diperlukan insentif pajak demi keberlangsungan penyaluran.

“Kalau seperti keadaan normal kegiatan impor dan penyerahan barang kesehatan akan terutang pajaknya, maka kami ringankan agar ketersediaan cukup dan ebban pajaknya direlaksasi,” ujar Hestu.

Pemerintah menyampaikan dampak dari virus korona, pelemahan harga minyak, dan kurs rupiah yang melemah menjadi batu sandungan utama penerimaan pajak.

Akhirnya, pemerintah secara resmi mengubah postur APBN 2020 dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 54 Tahun 2020, tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020, yang mulai berlaku sejak ditetapkan tannggal 3 April 2020.

Dalam perubahan APBN itu, target pendapatan negara kini dipatok sebesar Rp1.760,9 triliun, turun 21,1% dari target APBN 2020 yang sebesar Rp2.233,2 triliun.

Termasuk didalamnya target penerimaan pajak yang menyusut 21,6% menjadi Rp1.254,1 triliun atau dipangkas Rp388,5 triliun. Sementara target penerimaan Bea dan Cukai serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) masing-masing turun Rp 14,6 triliun dan Rp 69,2 triliun.

Kemenkeu melaporkan realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari-Februari 2020 sebanyak Rp152,9 triliun. Angka tersebut kontraksi hingga 4,9% year-on-year (yoy) bila dibandingkan dengan pencapaian pada periode sama tahun lalu senilai Rp160,9 triliun. (SKO)