
Dominasi Emiten Besar Bikin IHSG Rawan Guncangan, Saatnya Diversifikasi?
- Saat ini, sekitar 40% kepemilikan saham di BEI dikuasai oleh investor asing. Ini membuat IHSG sangat rentan terhadap arus modal keluar.
Bursa Saham
JAKARTA - Pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 7,83% sepanjang pekan lalu, 24–28 Februari 2025, kembali mengungkap kerentanan pasar modal Indonesia terhadap pergerakan emiten berkapitalisasi besar (big cap). Saat saham-saham raksasa tertekan, indeks cenderung jatuh lebih dalam. Hal ini memunculkan pertanyaan: sudah saatnya diversifikasi emiten diperkuat?
Analis Strategi Institute, Fauzan Luthsa, menilai dominasi emiten besar dalam IHSG justru menjadi faktor yang memperburuk volatilitas pasar. “Ketika mayoritas dana investasi tersedot ke perusahaan-perusahaan besar, fluktuasi saham mereka memiliki dampak berlipat ganda terhadap indeks,” ujarnya, Senin, 3 Maret 2025.
Masalah lain adalah tingginya ketergantungan terhadap investor asing. Saat ini, sekitar 40% kepemilikan saham di BEI dikuasai oleh investor asing. Ini membuat IHSG sangat rentan terhadap arus modal keluar. “Minimnya representasi emiten menengah membuat mekanisme penyerapan oleh investor domestik lemah. Akibatnya, jika ada aksi jual besar-besaran oleh asing, pasar langsung bergejolak,” jelas Fauzan.
- 7 Gunung Tertinggi Dunia, Ada Carstensz Pyramid Papua
- Tren Investasi Pembangkit Nuklir Dunia Melonjak, Kadin Emoh Ketinggalan
- 37 Saham Hijau, LQ45 Hari Ini 03 Maret 2025 Ditutup Menguat ke 737,77
Fakta bahwa pipeline IPO masih didominasi oleh perusahaan beraset besar juga menunjukkan kurangnya keseimbangan. Dari 24 calon emiten yang bersiap melantai di bursa, 23 di antaranya memiliki aset di atas Rp250 miliar. Minimnya perusahaan kelas menengah dalam daftar IPO menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia masih terlalu bergantung pada segelintir perusahaan besar.
Menurut Fauzan, solusinya adalah memperbanyak emiten kelas menengah yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi dan bisa berperan sebagai penyeimbang pasar. “Jika kita memiliki lebih banyak emiten menengah yang aktif, risiko sistemik akibat penurunan saham big cap bisa lebih tersebar. Pasar juga akan lebih dinamis dan tidak terlalu rentan terhadap satu kelompok saham tertentu,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa diversifikasi skala emiten bukan sekadar alternatif, tetapi kebutuhan untuk menciptakan pasar modal yang lebih stabil, responsif, dan berdaya saing. “Pasar modal harus kembali ke khittahnya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional, bukan sekadar arena spekulasi segelintir emiten besar,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman, mengakui bahwa berbagai faktor turut membebani IHSG, mulai dari kondisi global hingga laporan keuangan emiten. “Perang tarif AS dan mitranya, ketidakpastian kebijakan Trump 2.0, serta aliran modal asing yang kini lebih banyak masuk ke AS menjadi tantangan bagi pasar,” ujarnya di Jakarta, belum lama ini.
Apakah saatnya kebijakan pasar modal lebih berpihak pada diversifikasi skala emiten? Jika tidak, maka IHSG mungkin akan terus menghadapi risiko guncangan besar setiap kali saham big cap tergelincir.