<p>Warga mengakses salah satu platform e-commerce untuk berbelanja secara daring melalui gawai dalam rangka Hari Belanja Online Nasional atau &#8216;Harbolnas 11.11&#8217; di Tangerang, Banten, Rabu, 11 November 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional & Dunia

Dorong Inklusi Keuangan, Pemerintah Harus Buka Akses Data Pelayanan Publik

  • JAKARTA – Pemerintah terus didorong untuk mempercepat inklusi keuangan, salah satunya dengan membuka akses data pelayanan publik. Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengungkapkan, akses data menjadi faktor penting bagi masyarakat untuk mendapatkan inklusi keuangan yang lebih baik. Ia mengungkapkan, akses data yang terbatas bisa memunculkan permasalahan, salah satunya bagi […]

Nasional & Dunia

Aprilia Ciptaning

JAKARTA – Pemerintah terus didorong untuk mempercepat inklusi keuangan, salah satunya dengan membuka akses data pelayanan publik.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengungkapkan, akses data menjadi faktor penting bagi masyarakat untuk mendapatkan inklusi keuangan yang lebih baik.

Ia mengungkapkan, akses data yang terbatas bisa memunculkan permasalahan, salah satunya bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang ingin mendapatkan pembiayaan.

Menurutnya, selama ini sektor tersebut tidak pernah naik kelas disebabkan oleh kemampuan mereka yang tidak memiliki bargaining position. Ini terkait pula dengan inovasi credit scoring yang selama ini belum dioptimalkan.

“Dalam pemberian kredit, misalnya, mengapa bunga untuk UMKM lebih mahal dibandingkan dengan korporasi? Soalnya untuk perusahaan besar, bank bisa melihat jelas data keuangan dan track recordnya, sedangkan data UMKM tidak selengkap itu,” jelasnya dalam acara virtual bertema Tata Kelola Innovative Credit Scoring untuk mendorong inklusi keuangan di Indonesia, Senin, 23 November 2020.

Selama ini, lanjutnya, prioritas sektor UMKM hanya berfokus agar pengajuan kredit, tanpa mempertimbangkan suku bunga kredit yang dibebankan.

Aviliani menjelaskan, premium risk perbankan di Indonesia sangat tinggi. Akibatnya, konglomerasi selalu mendapat kredit paling banyak karena bunga kreditnya kecil. Sebaliknya, UMKM dibebankan bunga yang tinggi dengan pencairan dana yang kecil. “Akhirnya UMKM tidak pernah naik kelas,” katanya.

Oleh karena itu, Ekonom ini mendorong agar pemerintah melakukan open data untuk mempercepat inklusi keuangan. Data publik seperti BPJS kesehatan, BPJS ketenagakerjaan, atau Telkom dianggap dapat membantu memberikan gambaran untuk analisis pembiayaan.

Selain itu, credit scoring juga akan berguna bagi evaluasi calon nasabah. Sebab, mereka akhirnya mengatahui letak kekurangan dan penyebab yang membuat pengajuan kreditnya diterima atau tidak. Dengan demikian, kata Aviliani, calon nasabah bisa memperbaiki portofolionya.

“Selama ini kan nggak ada pihak yang mengevaluasi mereka kurangnya apa,” ujarnya.

Optimalisasi Data

Dalam kesempatan yang sama, Herman Widjaja selaku Kepala Working Group Innovative Credit Scoring (ICS) Aftech mengungkapkan, kebutuhan pasar akan memunculkan inovasi. Ia menyebut bahwa data sangat berguna untuk membantu industri keuangan di Indonesia.

Potensi tersebut muncul salah satunya dari pertumbuhan e-commerce. Sejak awal 2020, kata Herman, industri ini mengalami kenaikan yang pesat. Nilainya mencapai 30 miliar dari merchant yang tumbuh 30% dari merchant.

“Ada 2,2 juta merchant yang masuk sejak awal tahun,” ungkapnya.

Terlebih di era pandemi saat ini, lanjutnya, lebih dari 80% merchant masuk menjadi pemain baru. Menurutnya, banyak dari pelaku usaha tersebut yang membutuhkan akses keuangan, salah satunya kredit.

Di sisi lain, ia juga melihat adanya hambatan dari pemilik modal. “Pemilik modal juga mengalami kesulitan. Banyak nasabah yang masih unbankable,” katanya.

Terkait hal ini, Herman melihat credit scoring menjadi suatu peluang untuk membuka akses yang lebih baik. Dampaknya bisa untuk memperluas jangkauan kredit, khususnya pada pembiayaan digital.

Oleh karena itu, kolaborasi bisa diterapkan sebagai bisnis model. Teknologi yang semakin canggih bisa digunakan untuk mengolah data, baik dari transaksi elektronik, asuransi, maupun data selular. Namun, data tersebut tentunya harus diolah dengan prinsip kehati-hatian untuk mencegah timbulnya risiko yang tidak diinginkan.