DPR: Kemenkes Harus Tegak Lurus dengan Menteri dalam Penyusunan Rancangan Permenkes
- Sebelumnya Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyampaikan bahwa Rancangan Permenkes ini diputuskan untuk ditunda. Namun, kegaduhan masih terus terjadi, bahkan semakin menjadi polemik.
Nasional
JAKARTA – Sejumlah pihak mengungkapkan keprihatinannya terhadap rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) terkait pengendalian tembakau yang dinilai tidak memperhatikan keberlangsungan perekonomian dan tenaga kerja. Aturan yang digagas oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini dianggap tidak bijaksana jika nekat diterbitkan di tengah berbagai kritik dan pertentangan yang meluas saat ini.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem, Nurhadi, menyoroti sikap jajaran Kemenkes yang tampak bersikukuh untuk meloloskan aturan restriktif terhadap sektor tembakau melalui Rancangan Permenkes yang menurutnya mengabaikan dampak ekonomi bagi masyarakat dan negara.
“Kalau Kemenkes masih bersikukuh (untuk menerbitkan Rancangan Permenkes) dengan satu tujuan yaitu untuk kesehatan, tapi tidak mempertimbangkan dampak ekonominya, maka ini tentu bukan keputusan yang bijaksana,” ujar Nurhadi dalam diskusi bertajuk “Serap Aspirasi Mata Rantai Industri Hasil Tembakau” yang digelar oleh Koordinat Wartawan Parlemen (KWP) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta pada Selasa (12/11),
Padahal, Nurhadi mengatakan, sebelumnya Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyampaikan bahwa Rancangan Permenkes ini diputuskan untuk ditunda. Namun, kegaduhan masih terus terjadi, bahkan semakin menjadi polemik. “Apakah jajaran Kemenkes ini tidak satu komando dengan pimpinannya? Ini harus diklarifikasi oleh jajaran di bawah Menteri Kesehatan,” serunya.
Nurhadi juga menekankan bahwa kebijakan ini berpotensi merugikan ekonomi, terutama dengan adanya kemungkinan kehilangan pendapatan negara dari pajak dan cukai. Hal ini menurutnya bisa mengganggu target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8%.
“Kami di Komisi IX DPR RI akan mengawal Rancangan Permenkes ini. Jangan sampai kebijakan ini diterbitkan tanpa memperhitungkan dampak bagi masyarakat luas,” tegas Nurhadi.
Kritik serupa turut disampaikan oleh Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Bondowoso, Mohammad Yasid. Ia menegaskan bahwa petani tembakau di daerahnya sangat bergantung pada industri tembakau. Kebijakan ketat inisiatif Kemenkes ini dinilai akan mengancam nasib 5.000 petani tembakau di Bondowoso.
“Dari 23 Kecamatan terdapat tidak kurang 10.000 hektare tanaman tembakau dengan 5.000 petani. Artinya kita petani sangat bergantung pada sektor tembakau dan saya yakin ini potret yang sama di daerah lain,” paparnya.
Selain itu, Yasid menyampaikan bahwa penghasilan dari tanaman tembakau sangat tinggi dibandingkan dengan tanaman lain. Dengan biaya produksi sekitar Rp35 juta per hektare, para petani bisa menuai hasil sebanyak Rp90 juta per hektare dalam waktu 4 bulan.
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah untuk merevisi PP 28/2024 serta membatalkan Rancangan Permenkes, terutama terkait wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, mengingat dampak signifikan terhadap penyerapan hasil tembakau dan keberlangsungan hidup para petani tembakau.
“Kegaduhan dari kebijakan-kebijakan Kemenkes ini menjadi sebuah hantaman, pukulan bagi petani. Saat pandemi kami sanggup bertahan, tapi pemerintah justru yang mengancam kami sekarang,” terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna, turut menjelaskan bahwa industri tembakau merupakan sektor yang sangat berkaitan dengan ekonomi masyarakat pesantren. Menurutnya, banyak santri dan wali santri di Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari sektor tembakau, baik sebagai petani, buruh, maupun pekerja lainnya.
“Pesantren memiliki tanggung jawab dalam mengadvokasi stakeholders mereka yang terlibat di sektor pertembakauan. Kami sering berdiskusi dan memberikan masukan terkait kebijakan ini, terutama saat RUU Kesehatan dibahas,” ujar Sarmidi.
Sarmidi menyatakan bahwa kebijakan yang mengatur tembakau harus mempertimbangkan keberagaman pandangan, termasuk dalam aspek keagamaan. Menurutnya, fatwa mengenai rokok di Indonesia tidak sepenuhnya sepakat untuk melarangnya. Fatwa MUI hanya melarang untuk anak-anak dan ibu hamil, sedangkan fatwa Muhammadiyah melarang secara total, dan Nahdlatul Ulama (NU) tidak melarangnya.
Di samping itu, Sarmidi juga mengkhawatirkan bahwa kebijakan yang ketat terhadap sektor tembakau hanya akan mendorong menjamurnya peredaran rokok ilegal. Lebih jauh, ia juga menyoroti aturan zonasi larangan penjualan rokok dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang diperkirakan akan berdampak pada pedagang kecil.
“Bagaimana dengan pedagang kecil yang tidak mampu bersaing dengan minimarket atau peritel besar? Zonasi yang tidak jelas ini bisa mempersulit mereka,” kata Sarmidi.
Atas dasar itu, Sarmidi menilai bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah sejatinya harus mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya, termasuk dampak sosial-ekonomi yang sangat nyata bagi ekosistem pertembakauan di Indonesia. “Dampak negatif dari kebijakan ini terhadap ekosistem pertembakauan sudah jelas. Negara harus melindungi rakyat kecil yang kehidupannya bergantung pada sektor ini,” tutupnya.