Ilustrasi rokok kemasan polos.
Nasional

DPR Khawatir Kemasan Rokok Polos Bisa Perparah PHK Pekerja

  • Dia khawatir, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek akan mendorong meningkatnya pengangguran dan mengancam stabilitas perekonomian nasional.

Nasional

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Anggota legislatif khawatir kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 akan memicu fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara meluas pada sektor industri hasil tembakau nasional. Hal ini dapat memperparah gelombang PHK di sektor lainnya yang sudah mulai terjadi.

Anggota DPR RI Komisi IX periode 2019 – 2024 Fraksi NasDem, Nurhadi mengatakan bahwa selama ini industri hasil tembakau telah menjadi sumber mata pencaharian berbagai pihak, mulai dari pedagang kecil, industri percetakan, petani, serta buruh dan pekerja yang merupakan bagian dari ekosistem industri hasil tembakau.

Ia mengatakan, perumusan kebijakan tersebut harus dilakukan dengan berhati-hati. Pasalnya, produk tembakau memberi kontribusi pada omzet sebesar 50-80% bagi pedagang kecil. Selain itu, menurut Nurhadi pelemahan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia saat ini juga harus menjadi pertimbangan.

Nurhadi mengatakan bahwa industri hasil tembakau merupakan salah satu penyokong utama perekonomian, khususnya terkait dengan serapan lebih dari 6 juta tenaga kerja di dalamnya. Belum lagi kontribusi industri hasil tembakau pada penerimaan negara dari cukai yang mencapai ratusan triliun tiap tahunnya.

“Jangan sampai, kalau RPMK ini tidak dikoreksi atau dievaluasi, maka selain akan menyebabkan kegaduhan di dalam negeri, ini tentu juga akan berpotensi sekitar 6 juta pekerja tereduksi dan menambah rentetan jumlah PHK,” ujarnya kepada media.

Dia khawatir, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek akan mendorong meningkatnya pengangguran dan mengancam stabilitas perekonomian nasional. Sebab, dalam perumusannya, Kemenkes tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat kecil.

"Perlakuan sembarangan terhadap industri tembakau dapat mengancam perekonomian nasional. Jika tidak ditangani dengan hati-hati, perekonomian kita berisiko," tegas dia.

Oleh karenanya, Nurhadi meminta kepada pemerintah untuk mengkoreksi Rancangan Permenkes tersebut dan turut mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak terdampak agar dapat melahirkan regulasi yang adil. Dengan begitu, kata dia, kepentingan nasional dapat tercapai.

"Banyak sekali pihak terdampak. Mengaturnya tidak boleh asal-asalan dan Kemenkes harus mengakomodasi aspirasi dari pihak-pihak yang terdampak," katanya.

Buruh Tembakau Minta PP 28/2024 dan RPMK Dicabut

Beberapa waktu lalu, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) telah menggelar aksi demonstrasi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Kesehatan.

Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto AS menilai menilai bahwa kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK akan banyak menimbulkan permasalahan di Indonesia, seperti meningkatkan penyebaran produk rokok ilegal yang akan berdampak pada efisiensi pekerja di pabrik-pabrik rokok legal yang resmi.

"Kemasan rokok polos akan tambah memicu rokok ilegal. Rokok ilegal tumbuh, dapat dipastikan akan terjadi efisiensi pekerja," katanya.

Terlebih selama ini, Sudarto mengatakan pihaknya sama sekali tidak dilibatkan dalam peraturan dan rancangan tersebut. Hal ini dinilainya tidak adil kepada para pekerja di Industri tembakau.

"Surat sudah, audensi sudah tetapi cenderung dipersulit dan tidak didengar, kami undang dalam forum resmi dialog Kemenkes tidak datang, mereka mengadakan public hearing kami tidak diundang," tuturnya.

Sudarto menegaskan pihaknya akan terus melakukan penolakan terhadap kebijakan yang memberatkan industri rokok yang akan berdampak terhadap buruh rokok itu sendiri.

“Kalau pekerja terus dikorbankan dan tidak dicarikan solusi, kami datang lagi dengan masa yang lebih besar dan atau melakukan mogok kerja," pungkasnya.