Ilustrasi pembantu rumah tangga.
Nasional

DPR Periode Baru Diminta Beri Perhatian Khusus pada RUU PPRT

  • Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Penutupan Sidang I Tahun 2024-2025, menghasilkan penyetujuan RUU PPRT ke dalam Program Legislasi (Prolegnas). RUU PPRT kembali menjadi sorotan setelah diputuskan untuk dilanjutkan ke periode legislasi 2024-2029.

Nasional

Ilyas Maulana Firdaus

JAKARTA — Pada 10 September 2024 lalu, genap 20 tahun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) ini mangkrak. Padahal sejak tahun 2020 RUU ini selesai dirancang dan tinggal menunggu pengesahan. Namun, hingga saat ini pengesahan masih mengalami penundaan. 

Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Penutupan Sidang I Tahun 2024-2025, menghasilkan penyetujuan RUU PPRT ke dalam Program Legislasi (Prolegnas). RUU PPRT kembali menjadi sorotan setelah diputuskan untuk dilanjutkan ke periode legislasi 2024-2029. 

Keputusan ini diambil setelah berbagai dinamika di DPR, di mana pembahasan RUU ini belum dapat diselesaikan hingga masa jabatan anggota DPR saat ini berakhir. Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Netty Prasetiyani, meminta DPR periode 2024-2029 memberi perhatian secara khusus pada RUU tersebut. 

“Diteruskannya pembahasan RUU PPRT ke periode selanjutnya harus dengan disambut positif untuk mewujudkan perlindungan yang komprehensif kepada para pekerja rumah tangga. RUU PPRT akan masuk ke dalam daftar prioritas program legislasi atau prolegnas pada masa keanggotaan 2024-2029 dan harus segera disahkan,” ucap Netty.

Tingkat Kerentanan Tinggi

Sudah lama RUU ini hanya menjadi wacana yang tidak turut disahkan, Ketua Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan Andy Yentriyani, mempertanyakan mengapa RUU tidak juga dibahas meskipun sudah melakukan advokasi dengan DPR. 

“Komnas Perempuan telah menemui beberapa fraksi di DPR RI untuk membahas tentang advokasi RUU PPRT. Bahkan dalam setiap agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPR, kami terus menekankan pentingnya RUU ini. Beberapa anggota DPR menyatakan setuju, namun sampai hari ini tidak terlihat agenda pembahasannya,” ucapnya.

Mayoritas PRT sebesar 98% di antaranya merupakan perempuan yang bekerja didalam rumah ataupun ruang tertutup dengan tingkat kerentanan yang tinggi, dari tingginya tingkat kerentanan tersebut Komite Menentang Penyiksaan pada Mekanisme HAM internasional menempatkan PRT sebagai isu prioritas.

Selain itu, Andy menambahkan peran wartawan sangat dibutuhkan untuk mendesak DPR agar cepat membahas hal ini. Peran wartawan juga besar dalam mencari tahu apa yang menjadi batu sandungan para pejabat legislatif sehingga pembahasan dan pengesahan tidak kunjung dilakukan.

Menurut laman Komnas Perempuan, jumlah PRT di Indonesia mencapai lima juta jiwa, sementara itu bila dilakukan perhitungan sederhana, tahun 2024 kalangan menengah keatas di Indonesia mencapai angka 189 juta rang. Jika sepertiga orang dari kelompok kalangan tersebut mempekerjakan PRT, maka jumlah PRT mencapai sekitar 60 juta orang.

Komnas Perempuan mencatat ada lebih dari dua ribu kasus selama lima tahun terakhir, baik menerima laporan secara langsung maupun melalui jejaring. Dua ribu kasus tersebut baru yang tercatat saja, banyak kasus kekerasan yang tidak tersorot, terlebih kasus lainnya juga banyak terjadi. 

Kasus seperti upah yang tidak dibayarkan dan jam kerja yang tidak masuk akal masih banyak terjadi, maka dari itu urgensi untuk disahkannya RUU PPRT ini sudah ditahap yang sangat serius. Kasus-kasus yang tercatat maupun tidak menjadi bukti bahwasanya perlindungan hukum dan kesejahteraan para PRT ini menjadi hal yang sangat serius untuk dibahas.

Komnas Perempuan juga sudah memiliki Daftar Inventaris Masalah bila ingin merunut permasalahan mengenai penempatan, kesepakatan gaji, dan badan hukum penyalur PRT. Jadi alasan tidak disahkannya RUU tersebut dapat didiskusikan yang bisa diurai bersama.