P3RSI
Nasional

DPRD Minta PAM Jaya Tunda Kenaikkan Tarif Air Bersih di 2025

  • Menurut Francine, saat ini belum ada urgensi kenaikkan tarif air PAM Jaya di 2025 karena sejak tahun 2017 PAM Jaya selalu untung, tertinggi di tahun 2023 untung Rp 1,2 triliun, dan tahun 2024 membagikan dividen Rp 62 miliar.

Nasional

Ananda Astri Dianka

JAKARTA - Francine Widjojo, anggota Komisi B DPRD Provinsi DKI Jakarta Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta pihak Perumda Air Minum Jaya (PAM Jaya) menunda pemberlakuan Tarif Baru Layanan Air, terutama di rumah susun (hunian).

Menurut Francine, saat ini belum ada urgensi kenaikkan tarif air PAM Jaya di 2025 karena sejak tahun 2017 PAM Jaya selalu untung, tertinggi di tahun 2023 untung Rp 1,2 triliun, dan tahun 2024 membagikan dividen Rp 62 miliar ke Pemprov DKI Jakarta selaku 100 persen pemegang saham PAM Jaya tapi tingkat kebocoran air atau Non Revenue Water sejak tahun 2017 sangat tinggi, selalu berkisar 42-46%.

Selain karena banyaknya penolakan dari warga rumah susun kalangan menengah dan masyarakat berpenghasilan rendeh (MBR), dasar hukum keputusan kenaikkan tarif air bersih ini, menurut Francine masih dapat diperdebatkan.

Francine mengingatkan bahwa peraturan telah mendefinisikan air minum sebagai air yang siap diminum dan memenuhi syarat kesehatan, yaitu pada Pasal 1 angka (5) UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air dan Pasal 1 angka (2) PP 122/2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).

”Dengan banyaknya pro dan kontra yang saat ini, ditambah lagi juga dengan dasar hukumnya terutama terkait dengan tarif air minum dibandingkan dengan air bersih, seharusnya sih PAM Jaya belum bisa menerapkan kenaikan tarif tersebut dan sebaiknya ditunda dulu lah di 2025 ini,” kata Francine beberapa waktu lalu seusai beraudiensi dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia, di DPRD DKI Jakarta.

Menurut Francine, secara aturan,  sebenarnya yang bisa diterapkan PAM Jaya itu adalah kenaikkan tarif air minum, bukan air bersih. Sebab PAM Jaya itu adalah perusahaan air minum bukan air bersih. Cuma karena selama ini banyak warga Jakarta masih menikmati taraf air bersih saja. Jadi terkait tarif itu, harusnya dibedakan antara air minum dengan air bersih.  

Sebenarnya, lanjut Francine, kenaikan tarif yang diatur di dalam Keputusan Gubernur 730 tahun 2024 itu kan terkait dengan tarif air minum, sehingga PAM Jaya ini seharusnya menaikkan tarif air minum terhadap pelanggan-pelanggan yang sudah menerima layanan air minum. Informasi layanan air minum itu sudah, terutama yang sambungan pipa baru. Sudah ada beberapa, tapi belum semuanya.

”Tadi kami sudah mendengar keluhan dari anggota P3RSI yang terdiri dari pengurus-pengurus PPPSRS dan pengelola rumah susun ternyata terdapat beberapa permasalahan, misalnya tadi terkait dengan meter kubik pemakaian (air bersih), karena rata-ratakan pemakaian penghuni apartemen itu tidak sampai 10 m³,” ungkap pegiat Jakarta Ramah Hewan ini.

Sehingga, tegasnya, tidak adil jika warga rumah susun atau apartemen dipukul rata dikenakan tarif batas atas pemakaian > 20 m³ dengan pemberlakuan tarif progresif.

Francine juga mesoroti instalasi yang sudah terpasang gedung bertingkat, khususnya di rumah susun. Ternyata pipa itu selama ini penyambungan sampai dengan unit-unit sudah di bangun oleh pengembang dan perawatannya sendiri yang membutuhkan biaya besar itu ditanggung PPPSRS dengan menggunakan dana gotong-royong  Iuran Pemelirahaan Lingkungan (IPL)

”Jika dikaitkan dengan target Jakarta 2030 yang seharusnya 100%  (dapat layanan) air minum dari PAM Jaya. Lantas bagaimana nanti kelanjutannya kalau misalnya ternyata pipa-pipa di dalam apartemen ini, apakah sudah memenuhi standar untuk bisa (penggunaan) untuk air minum atau harus diganti? Kalau misalnya harus diganti ini tanggung jawab siapa nih?,” tanya Francine.

Ironis

Sementara itu, Ketua Umum DPP R3RSI Adjit Lauhatta menyesalkan terbitnya peraturan Penerapan Tarif Baru Layanan Air Bersih dari PAM Jaya tidak masuk akal. Pasalnya, dalam tabel layanan baru yang menempatkan rumah susun sebagai apartemen yang merupakan hunian sama gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan yang tarifnya sebesar Rp.21.500 per m3.

”Terkait hal tersebut kami perlu penjelasan, apa dasar PAM Jaya penetapan golongan apartemen/rumah susun disamakan dengan gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan? Padahal fungsi dan peruntukannya berbeda. Apartemen atau rumah susun adalah  hunian, sedangkan lainnya untuk komersial,” kata Adjit di gedung DPRD DKI Jakarta.

Jadi sangat tidak pas, jika rumah susun (apartemen) yang memiliki fungsi dan peruntukkan sebagai hunian dikategorikan/digolongkan sama dengan gedung bertingkat untuk bisnis, seperti perkantoran, trade center, kondominiun (service apartement).

Atas hal tersebut, kata Adjit, P3RSI mengusulkan, kata apartemen di rincian jenis pelanggan: gedung bertingkat tinggi komersial/apartemen/kondominium/pusat perbelanjaan, dihilangkan. Selanjutnya, gedung bertingkat yang fungsi dan peruntukkannya sebagai hunian lebih tepat digolongkan sebagai rumah susun.

Adjit juga menekankan, akibat kenaikkan tarif air bersih ini yang mencapai 71 persen, beban yang ditanggung pemilik dan penghuni rumah susun makin berat dengan kenaikan tarif air bersih dari Rp.12.500 menjadi Rp21.500. Padahal, PPPSRS dalam hal ini warga rumah susun masih menanggung perawatan instalasi air bersih di gedungnya yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya.

”Sangat ironis, kalau pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta mendorong agar kalangan dan MBR tinggal di rumah susun, tapi setelah tinggal kok kami malah dikenakan tarif air bersih paling tinggi. Harusnya Pemprov DKI dan PAM Jaya peka dengan situasi ekonomi kalangan menengah dan MBR saat ini,” kata Adjit.