Dua Hal Ini akan Bisa Jadi Pencegah Resesi Ekonomi
JAKARTA – Resesi ekonomi menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia sebagai akibat pandemi COVID-19. Ekonom Faisal Basri menyebut bantalan pencegah resesi saat ini adalah belanja pemerintah dan mengurangi pelemahan konsumsi rumah tangga. Sebab, konsumi rumah tangga memliki kontribusi terbesar yaitu 57% dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan, investasi, yang notabene penyumbang PDB kedua sedang tidak […]
Industri
JAKARTA – Resesi ekonomi menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia sebagai akibat pandemi COVID-19. Ekonom Faisal Basri menyebut bantalan pencegah resesi saat ini adalah belanja pemerintah dan mengurangi pelemahan konsumsi rumah tangga.
Sebab, konsumi rumah tangga memliki kontribusi terbesar yaitu 57% dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan, investasi, yang notabene penyumbang PDB kedua sedang tidak dapat diandalkan karena tengah fokus mempertahankan bisnis saat ini.
“Separah-parahnya tekanan yang bakal kita hadapi, agaknya resesi tidak akan sedalam Singapura dan beberapa negara tetangga. Masih ada waktu menyiapkan beragam amunisi,” kata Faisal, mengutip dari laman pribadinya, Senin, 20 Juli 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Menurut Faisal, basis ekonomi Indonesia dengan Singapura berbeda, sehingga tidak dapat serta merta disandingkan. Pasalnya, peranan ekspor barang dan jasa dalam PDB di Singapura sangat tinggi, bahkan jauh lebih besar dari PDB yaitu 174%.
Sebaliknya, peranan ekspor barang dan jasa di Indonesia jauh lebih rendah dari Singapura yakni hanya 18,4%. Di sisi lain, posi impor Indonesia hampir sama dengan ekpor yaitu di kisaran 18,9%.
“Jadi, kemerosotan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor) justru positif buat pertumbuhan ekonomi sehingga memberikan sumbangsih dalam meredam kemerosotan pertumbuhan,” tambah Faisal.
Perbandingan dengan China
Menariknya, komposisi ekonomi Indonesia justru lebih mirip dengan China, dengan peranan ekspor dan impor dalam PDB-nya relatif sangat kecil yaitu ekspor 18,4% dan impor 17,3%. Pembedanya adalah ekspor neto China masih positif, sebaliknya ekspor neto Indonesia tercatat negatif karena porsi impor lebih tinggi dari ekspor.
Dengan kondisi yang hampir sama, Indonesia dapat bercermin dari China yang hingga kini menjadi salah satu dari sedikit negara yang masih bertahan dari resesi. Sebut saja, Malaysia dan Thailand, di Malaysia peranan eskpor dan impor masing-masing 65% dan 58%.
Sedangkan, komposiis ekspor dan impor Thailand masing-masing 60% dan 51%. Vietnam, meskipun peranan ekspor dan impornya di atas 100%, namun masih tertolong dengan terjjaganya iklim investasi dan konsumsi rumah tangga dan pemerintah.
Dengan demikian, untuk membantu naiknya belanja pemerintah dan konsumsi rumah tangga, pemerintah perlu menyuntikkan dana segar ke masyarakat. Seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan proh=gram keluarga harapan (PKH).
Jika jenis bantuan dana seperti ini diperluas jangkauannya dan ditambah nilainya, Faisal optimis ini akan menjadi bantalan perekonomian Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyatakan ancaman resesi atau tidaknya prekonomian Indonesia sangat bergantung pada kinerja kuartal III-2020.
Untuk selamat dari resesi, Sri Mulyani menyebut pemerintah menargetkan pertumbuhan di kisaran minus 1% hingga positif 1,2%. Sedangkan kuartal IV, Sri Mulyani memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di zona positif 1,6% hingga 3,2%.