Duduk Perkara Isu Sritex (SRIL) yang Terancam Gulung Tikar
- Musim gugur industri tekstil nasional belakangan sangat memukul para pelakunya. Perusahaan tekstil besar asal Sukoharjo, Jawa Tengah, PT Sri Rejeki Isman atau Sritex, tak luput dari dampak kemunduran industri tekstil dalam negeri.
Nasional
JAKARTA—Musim gugur industri tekstil nasional belakangan sangat memukul para pelakunya. Perusahaan tekstil besar asal Sukoharjo, Jawa Tengah, PT Sri Rejeki Isman atau Sritex, tak luput dari dampak kemunduran industri tekstil dalam negeri.
Belakangan, perusahaan berkode emiten SRIL itu bahkan disebut terancam gulung tikar. Hal itu menyusul anjloknya pendapatan perusahaan yang memicu rencana PHK massal. Padahal, Sritex berkontribusi sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja.
Data per 31 Desember 2023, Sritex memiliki jumlah karyawan tetap sebanyak 14.138 orang. Kondisi Sritex yang tidak baik-baik saja ikut menjadi sorotan Kementerian Perindustrian. Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, mengaku tengah mendalami penyebab turunnya kinerja raksasa tekstil di Asia Tenggara itu.
Pihaknya akan mengecek apakah faktor pemicunya lantaran lesunya permintaan industri tekstil atau problem di internal perusahaan. “Kami juga mesti lihat model bisnisnya seperti apa. Apakah bangkrutnya murni karena tekstil, apakah ada masalah-masalah yang dihadapi pusat,” ujar Agus di Istana Merdeka Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa, 25 Juni 2024.
Informasi yang dihimpun TrenAsia, pendapatan SRIL memang terus menurun sepanjang tahun lalu. Merujuk laporan keuangan per Desember 2023, SRIL mencatatkan penjualan bersih sebesar US$325,08 juta atau setara Rp5,01 triliun.
Angka ini turun 38,02% dibandingkan dengan 2022 yang sebesar US$524,56 juta. Pendapatan SRIL ditopang penjualan ekspor sebesar US$158,66 juta. Sedangkan penjualan lokal tercatat sebesar US$166,41 juta. Kedua segmen penjualan ini sama-sama turun sepanjang 2023.
PHK Berkala
Kondisi tersebut memaksa SRIL berencana melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara berkala hingga 2025 mendatang. Sritex mengklaim langkah pengurangan karyawan tersebut bertujuan untuk mendongkrak penjualan dan efisiensi biaya produksi.
Data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat ada sekitar 13.800 buruh yang tekstil terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari Januari 2024 hingga awal Juni 2024. PHK buruk tekstil yang paling masif terjadi di Jawa Tengah.
KSPN menyebut ada tiga pabrik di bawah grup Sritex yang telah mendepak pekerjanya. Perusahaan itu yakni PT Sinar Pantja Djaja (Semarang), PT Bitratex (Kabupaten Semarang), dan PT Djohartex (Magelang). Serikat pekerja mengungkap mayoritas penyebab PHK massal adalah anjloknya permintaan, baik lokal maupun luar negeri.
Sementara itu, Sritex menampik kabar perusahaanya pailit pada 2023 sehingga terancam bangkrut. Mereka menegaskan perusahaan masih beroperasi seperti sedia kala. Hal itu disampaikan Sritex dalam keterangan tertulis pada Bursa Efek Indonesia (BEI), 21 Juni 2024.
“Tidak benar (terancam bangkrut). Perseroan masih beroperasi dan tidak ada putusan pailit dari pengadilan,” ujar Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam. Meski demikian, pabrik yang banyak memasok pakaian militer luar negeri ini mengakui bahwa pendapatan mereka menurun drastis.
Baca Juga: Perkembangan Penyelesaian Suspensi Saham Sritex (SRIL), Ada Kabar Baik?
Welly mengatakan pemasukan Sritex menurun karena pandemi COVID-19 dan persaingan industri global. Pihaknya bahkan menyebut dampak pandemi dan persaingan dagang tersebut memicu penurunan drastis dalam pendapatan.
“Kondisi geopolitik perang di Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supply chain, juga penurunan ekspor karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat kawasan Eropa maupun Amerika Serikat,” kata Welly.
Selain itu, Sritex menyebut turunnya pendapatan perusahaan tak lepas dari adanya over supply textile di China. Akibatnya terjadi dumping harga, terutama tekstil yang menyasar negara di luar kawasan Eropa dan China.
“Aturan impor longgar, tidak menerapkan bea masuk anti-dumping, tidak ada tarif barier maupun non-tarif barrier. Salah satunya adalah Indonesia,” jelas Welly. Lebih lanjut, SRIL menuding situasi geopolitik dan banjir produk China yang masuk ke Indonesia membuat penjualan tekstil Sritex terhambat.
Namun Welly memastikan tidak ada rencana menutup perusahaan. “Perseroan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha serta operasional dan fleksibilitas dalam menghadapi dinamika pasar,” ucapnya.