Ilustrasi miniatur rumah.
Makroekonomi

Duh, Bangun Rumah Sendiri Kena Pajak 2,4 Persen Mulai 2025

  • Kegiatan membangun yang dimaksud dalam aturan itu tak hanya membangun rumah baru, melainkan juga perluasan bangunan lama. Pajak berlaku untuk rumah dengan konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja serta diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha.

Makroekonomi

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Warga bakal terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) senilai 2,4% jika membangun rumah sendiri atau tanpa kontraktor mulai tahun depan. Angka tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya sebesar 2,2%. 

Kenaikan PPN membangun rumah sendiri menjadi konsekuensi rencana kenaikan PPN secara umum dari 11% menjadi 12% mulai 2025, merujuk UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

Sebagai informasi, tarif PPN membangun rumah sendiri tercatat dalam Peraturan Menteri Keuangan No.61 Tahun 2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri. Dalam beleid tersebut, tarif pajak membangun rumah sendiri ditentukan sebesar 20% dari PPN secara umum. 

Artinya, tarif pajak bangun rumah bakal menjadi 2,4% apabila PPN naik menjadi 12%. “Besaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian 20% dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak,” demikian isi beleid tersebut.

Kegiatan membangun yang dimaksud dalam aturan itu tak hanya membangun rumah baru, melainkan juga perluasan bangunan lama. Pajak berlaku untuk rumah dengan konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja serta diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha.

Meski demikian, tak semua pembangunan rumah dikenai PPN. Pemerintah menetapkan sejumlah kriteria yakni luas bangunan paling sedikit 200 meter persegi. Artinya, rumah di bawah luasan itu tak akan dikenai PPN.

Hantam Kelas Menengah

Sejumlah pihak menilai kenaikan PPN rentan menghantam ekonomi kelas menengah, mengingat eksesnya bisa ke berbagai sektor, termasuk perumahan. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bahkan menyebut pertumbuhan ekonomi RI bisa di bawah 5% jika PPN dinaikkan menjadi 12% tahun depan. 

Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, mengatakan kenaikan PPN bakal semakin menekan daya beli hingga konsumsi kelas menengah. “Kalau pelaksanaan (kenaikan PPN) dilakukan pakai kacamata kuda tanpa melihat realitas ekonomi yang sedang turun ini, kita mungkin akan mulai berbicara pertumbuhan ekonomi di bawah 5% tahun depan,” kata Eko dalam Diskusi Publik INDEF "Kelas Menengah Turun Kelas" belum lama ini. 

Menurut dia, konsumsi rumah tangga saat ini sudah menurun meski PPN belum naik. Sebelum pandemi COVID-19, konsumsi rumah tangga minimal tumbuh 5% per kuartal. Namun pasca COVID-19 pertumbuhan konsumsi hanya 4,9%. 

Eko menyebut pertumbuhan ekonomi sangat lekat dengan konsumsi. “Hubungannya bahkan hampir 60%. Kalau kita lihat konsumsi saat ini sudah cukup bahaya.” Melemahnya tingkat konsumsi itu linear dengan penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia lima tahun terakhir. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah menurun sejak 2019 hingga 2024. Pada 2019, jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau 21,45% dari total penduduk. 

Angka itu kemudian turun menjadi 53,83 juta atau 19,82%. Jumlah kelas menengah terus turun menjadi 48,27 juta atau 17,44% pada 2023. Di 2024, jumlah kelas menengah tinggal 47,85 juta atau 17,13%. Artinya, populasi kelas menengah di Indonesia berkurang 9,48 juta orang dalam periode 2019-2024. 

Baca Juga: Jalan Terjal Prabowo Tambah Populasi Kelas Menengah

Sebagai informasi, kriteria kelas menengah yang dipakai pemerintah adalah mereka yang pengeluarannya berkisar 3,5-17 kali garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia atau sekitar Rp2.040.262 - Rp9.909.844 per kapita per bulan. Adapun jumlah kalangan menuju kelas menengah (calon kelas menengah) mengalami kenaikan. 

Pada 2019, jumlah kelompok ini tercatat 128,85 juta atau 48,2%. Angka tersebut naik menjadi 137,5 juta atau 49,22% pada 2024. Kriteria calon kelas menengah yakni memiliki pengeluaran berkisar 1,5-3,3 kali garis kemiskinan atau sekitar Rp874.398 - Rp2.040.262 per kapita per bulan.

Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar, mengatakan modus atau nilai yang paling sering muncul dalam pengeluaran kelas menengah adalah Rp2.056.494. Artinya, populasi kelas menengah cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan kelas menengah yang sebesar Rp2.040.262.

Hal itu, imbuh Amalia, mengindikasikan kelompok kelas menengah akan lebih sulit untuk lompat menuju kelas atas.”Dan rentan untuk jatuh ke kelompok menuju kelas menengah bahkan rentan miskin,” jelasnya dalam rapat kerja dengan DPR, dikutip dari Antara, belum lama ini.